Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib
Ibu menjaga hasrat baik agar terus
memenuhi desa, berperang melawan
kelapukan akibat tumpahan hujan dari
kekuatan-kekuatan yang mengatasi
desa kita.
Mungkin sekedar ‘kelas’ rukuh, tapi
soalnya ialah kerajinan Ibu untuk
menerobos dan menelusup, di samping
rukuh memang menyediakan rasa tidak
aman bagi kemunafikan. Ibu juga maju
ke Pak Polisi, angkat tangan memotong
pidato Pak Pejabat di mimbar, melayani
segala kesulitan pekerjaan birokratis
yang bisanya ditangani oleh kaum
lelaki, menampung pertengkaran
suami istri-suami istri, membendungi
gejala saling benci di antara siapapun,
mempertanyakan sesuatu kepada Pak-
Pak Pamong, tanpa rasa sungkan atau
pakewuh seperti yang lazim diketahui
sebagai lenderteal pembungkus sikap
sosial orang Jawa. Meskipun toh
frekuensi ketidakberesan yang pada
umumnya tumpah dari atas selalu akan
bisa mengubur usaha-usaha hasrat baik
Ibu.
Pasti ada ribuan orang di negeri ini
yang melakukan seperti yang Ibu
lakukan. Ratusan kawan-kawan
anakmu juga mampu mengerjakan
berbagai hal yang penuh arti. Tapi
lihatlah, apa yang lebih bermutu dari
sepak terjang anakmu ini selain
merengek-rengek?
Banyak hal pada kegiatan kaum wanita di desa kita yang membuat segala
pembicaraan tentang masyarakat
patrimonial menjadi terasa aneh. Tetapi
toh Ibu juga tak bosan-bosan bertanya
kepada anak-anakmu atau kepada
kawan-kawan anak-anakmu yang
datang ke desa:“apa tho Nak
emansipasi wanita itu?”
(Sumber: “IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU” Sekelumit Catatan Harian. 23.8.1985. foto oleh: Budhi Ipoeng)
0 Response to "“Apa tho Nak, Emansipasi itu?”"
Post a Comment