Latest Updates

Maiyah Bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng @AMIKOM Jogja


Monggo dulur semua. Datang acara Maiyah bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng

Hari/Tanggal : Sabtu 12 September 2015

Jam : 19.15 WIB s./d Selesai

Tempat : Halaman Kampus AMIKOK, Jl. Ring Road Utara, Condong Catur, Yogyakarta.



Tafakur Bersama Guru Kita : Gus Mus dan Cak Nun

Monggo dulur semua. Ikut ngaji "Tafakur Zaman Akhir" bersama beliau guru kita: K.H. Mustofa Bisri (Gusmus) dan K.H. Emha Ainun Nadjib(Cak Nun). Berikut acaranya:

  • Hari : Jum'at 4 September 2015
  • Pukul : 20.00 WIB
  • Tempat : PonPes Rohmatul Umam, Jl. Parangtritis km 22, Tegalsari, Donotirto, Kretek, Bantul, Yogyakarta.





Maiyah Nusantara Cak Nun di Brawijaya Malang

Sedulur mari datangi diskusi dengan Cak Nun di Brawaijaya Malang. Tempatnya di Lobby Gedung B Fakultas Hukum 31 Agustus 2014.



Jadwal Cak Nun Juli - Agustus 2015


cak nun



Berikut Jadwal Cak Nun Juli - Agustus 2015:


Sinau Bareng Cak Nun
30 Juli 2015  •  20:00
Pendopo Sekolah Taman Siswa, Jl. Taman Siswa, Kota Yogyakarta, DIY

Majlis Masyarakat Maiyah: Padhangmbulan
31 Juli 2015  •  20:00
Menturo, Sumobito, Jombang, Jatim


Sinau Bareng Cak Nun
02 Agustus 2015  •  19:00
Hal. Masjid Jami' Al-Wustho, JL. Kudus-Colo km. 10, Piji, Dawe Kudus, Jateng


Sinau Bareng Cak Nun
03 Agustus 2015  •  09:00
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Jl. Jend. Sudirman No. 30 Serang, Banten

Catatan:
Di update setiap saat dan dapat berubah sewaktu-waktu


sumber

Lagi, Kiai Semar Menghilang

Oleh Helmi Mustofa 

Dikisahkan, warga masyarakat Karang Kedempel resah dan sedih karena menghilangnya Kiai Semar. Padahal perannya sangat dibutuhkan saat itu. Masalah-masalah yang kian runyam menunggu turun tangannya. Kiai Semar kemanakah engkau pergi? Ke manakah engkau bersembunyi? Lurah dan seluruh perangkatnya tak lagi sanggup menjalankan fungsinya sebagai petugas penyejahtera rakyat. Malahan sebaliknya, dengan pelbagai cara dan manipulasi.

Para Punakawan lainnya — Gareng, Petruk, dan Gareng, jadi ramai berdebat, merefleksi, dan mencari. Di antara menghilangnya Semar dan tertindasnya warga Karang Kedempel, berlangsung berlapis-lapis pemikiran dan pergulatan. Di tengah ketertindasan, represi politik, pembungkaman suara, dan penjajahan oleh asing, bergema pertanyaan mengapa Semar pergi sementara rakyat Karang Kedempel tak berdaya. Hakikat politik, kedaulatan rakyat, sejatinya kekuasaan, semuanya dipertanyakan kembali.

Sampailah mereka pada suatu kesimpulan: perlunya Carangan: “Carangan ialah mengubah pakem. Menggesernya, merombaknya, atau bahkan menggantikannya sama sekali. Suatu sistem pakem yang menyejahterakan sebagian orang dengan cara menyengsarakan sebaguian besar lainnya, tak bisa diteruskan. Kaum Punakawan, sebagai agen dari Budaya Carangan — yang mencoba menyelusupkan paham-paham baru yang membebaskan — dalam kisah keniscayaan tragis Mahabharata, menunjukkan bahwa masyarakat Karang Kedempel sebenarnya melontarkan kehendak pembebasan secara autentik.” (203).

***
Zaman terus berjalan, melangkah, dan berubah. Novel-esai berjudul “Arus Bawah” ini dulu, 20 tahun silam, telah terbit menjumpai pembaca. Menggedor kesadaran orang-orang, yang hidup tapi tak selalu berdaya dalam kepungan kekuasaan Orde Baru. Menyusupkan dan menyebarkan virus budaya carangan, di atas berlangsungnya mainstream kekuasaan dan politik kala itu, yang baku, pakem, dan hendak dilanggengkan.

 
Arus Bawah
Judul Buku : Arus Bawah
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Februari 2015
Tebal : viii+238 halaman

Kini, di awal tahun 2015, novel-esai yang mengajak kita lebih dekat dengan kehidupan negeri karang Kedempel ini hadir kembali. Dan sejatinya, juga mewartakan hal yang sama; Kiai Semar telah menghilang. Ya, Kiai Semar pergi entah ke mana. Padahal penduduk Karang Kedempel kontemporer ini sesungguhnya sedang membutuhkan kehadirannya. 

Mungkin lebih dari yang dulu. Karang Kedempel yang sekarang ini dikuasai oleh politik tipu daya pencitraan, pemerintahan yang terbelah dan penuh sandiwara, kamuflase demokrasi, maraknya aliran-aliran penyempitan berpikir, riuh rendahnya ocehan dan hujatan di media sosial, aneka tingkah polah nyelfie, dan lebay-nya gaya hidup, amat sangat memerlukan kembalinya Kiai Semar. Sekurang-kurangnya para Punakawan lainnya, bisa segera menggulirkan gerakan carangan baru

“Islamic Valentine Day”

cak nun
JUDUL ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta kemanusiaan.

Islam bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadhan. Islam itu substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi. Namun sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan Islam.

Bahkan Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’i, Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam yang sejatinya dimaksudkan oleh Allah.

Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”, “dakwah Islam”, “syiar Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam Indonesia” — yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.

Dan Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah sejatinya Islam. Demikianlah memang hakikat penciptaan Allah atas kehidupan. Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La ikraha fid-din. Tak ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam menafsirkannya. Tafsir populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke tingkat pelecehan atas Islam itu sendiri.
Islam bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap Islam.

Islam bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan, kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah tampak tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga, berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih bagaikan pasukan Malaikat Jibril.

Sedemikian rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia modern, industri liberal, mode show, pembuatan film, diskusi pengajian, yang penting dikasih kostum Islam. Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat menyelenggarakan tayangan “Gosip Islami”, “Lokalisasi Pelacuran Islami”, “Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah” atau pertandingan volley ball wanita Muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai kemudian dengan tolol dan ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir Ramadhan sebagai Hari Valentine Islami….

Tapi sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi Rasulullah Muhammad SAW. Fathu Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an sebagai Fathan Mubina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadhan, tepatnya pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari Madinah merebut kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh kemenangan besar. Ribuan tawanan musuh diberi amnesti massal….

Rasulullah berpidato kepada ribuan tawanan perang: “…hadza laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa….”. Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing. Pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shock juga. Berjuang hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah memerintahkan pampasan perang, berbagai harta benda dan ribuan onta, dibagikan kepada para tawanan.

Sementara pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan memproteslah sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan dan Muhammad SAW bertanya: “Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?” Mereka menjawab: sekian tahun, sekian tahun…. “Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?”

Tentu saja sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: “Kalian memilih mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?” Menangislah mereka karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan bahkan dengan bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ sebagai bagian dari pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda: “Sudah pasti kami memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh mbok ya juga diberi onta dan emas barang segram dua gram…?”

Manusia, Korupsi, dan Luapan Air Bah

sumber gambar
Pohon yang diletakan di dalam ruangan, secara alamiah akan bergerak menuju sumber cahaya. Pohon tidak punya alternatif sikap, kecuali patuh kepada sunatulloh.  Celah dan lubang sekecil apapun akan dipilih sebagai arah tumbuh oleh pohon yang ditaruh di sebuah ruang gelap, jika celah dan lubang itu adalah sumber cahaya. Pohon akan bergerak tumbuh berdasarkan ‘sangkan paran’ nilai dan hakekat alamiahnya.  Pohon sangat setia dengan ilmu dan pengetahuan dari Tuhan tentang hakekat kesehatan dan keselamatan hidup.

Sekian abad yang lalu bangsa kita hidup di dalam sebuah habitat sosial yang terkontruksi berdasarkan hakekat nilai yang alamiah. Kita tentu pernah mendengar tatanan sosial yang secara idiomatik terinspirasi dari aspirasi Hindu-Budha. Tatanan sosial dalam konsep kebudayaan masyarakatjawa yang kita kenal sebagai ‘kasta’. Tatanan sosial dan struktur budaya ‘kasta-wi’ oleh masyarakat modern dipahami secara reduktif dan distortif karena pengaruh sentimentalitas agama yang ditumbuhkan oleh semangat rivalisasi politik dan perspektif sejarah periodisasi. Padahal para leluhur kita telah berkontribusi besar dalam membangun suatu peradaban bermartabat dengan menciptakan tatanan sosial dan bangunan kebudayaan masyarakat yang berasal-usul dari dasar-nilai-filosofis  hakekat kebenaran alamiah dan universal.

Di dalam tatanan sosial masyarakat sekian abad silam, kita mengetahui bahwa posisi tertinggi dalam struktur sosial adalah Kaum Brahmana.  Kaum  Brahmana adalah orang dengan kualitas pribadi yang sudah bisa mengatasi kecenderungannya dengan segala hal yang bersifat duniawi. Kalau dalam Islam kualitas level dan maqom jenis ini adalah para ulama yang ‘zuhud’, yaitu manusia yang seluruh kesadaran hidupnya sudah memiliki ‘jarak rohani’ yang sangat jauh dari materi. Masyarakat pada jaman itu sangat menghormati kualitas pribadi semacam itu. Posisi sosial yang di tempati kaum Brahmana adalah posisi yang paling tinggi. Jika struktul sosial terbangun berdasarkan prinsip nilai yang memandang kualitas manusia berdasarkan parameter ruhaniah, maka itu berarti secara otomatis akan membuat  gerak kebudayaan manusia mengarah kepada nilai-nilai yang bersifat batiniah, dengan kata lain, materi atau harta tidak menjadi orientasi utama dalam skala prioritas hidup masyarakat. Semua orang akan melangkahkan hati dan seluruh kesadaran hidupnya kepada nilai-nilai yang dianggap dan diyakini bisa meninggikan derajat dan martabat hidupnya.Kondisi seperti ini menjadi sejalan dengan sebuah pohon yang selalu bergerak berdasarkan fitrah tradisi alam yaitu menuju dan mencari sumber cahaya. Kalau dalam perspektif Fisika kita mengenal fase transformative dari materi-energi- cahaya. Benda materi adalah padatan dengan derajat terendah dalam siklus dan metabolisme transformasi alam. Dalam agama setiap benda atau materi harus di ruhanikan, yaitu difungsi sosialkan menjadi kemanfaatan hidup.

Salah satu kebutuhan dasar manusia dalam pergaulan sosial adalah keinginan untuk ‘dihormati’. Jika parameter ‘keterhormatan’ seseorang adalah kualitas mental ‘zuhud’, maka dorongan syahwat untuk meraih materi menjadi terukur dan terkontrol oleh norma sosial. Masyarakat pada saat itu justru akan memandang keserakahan kepada harta adalah sebuah kehinaan. Ini bisa terlihat dari struktur ‘kasta’ masyarakat dalam tatanan sosial yang menempatkan orang kaya pada posisi sudra, yaitu posisi terendah.
Lain halnya dengan kondisi masyarakat modern yang menyebut dirinya demokratis, egaliter dan anti ‘kasta’, tetapi ‘diam-diam’ telah membalik tatanan hidup yang sesuai dengan fitrah alam dengan menciptakan ‘kasta’ baru. Dalam ‘kasta’ masyarakat modern keterhormatan hidup dilambangkan dengan kekayaan. Artinya orang yang paling banyak jumlah kekayaannya menempati posisi paling tinggi dalam struktur masyarakat modern. Kondisi seperti ini secara otomatis akan membuat manusia  sangat bernafsu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk ‘dihormati’ dalam pergaulan sosial.Tidak satupun manusia yang tidak ingin ‘terhormat’  kehidupan sosialnya. Karena ‘keterhormatan’  dalam masyarakat modern disyarati oleh kekayaan, maka semua manusia menjadi berlomba-lomba ingin mendapat harta sebanyak-banyaknya. Apapun profesi seseorang, tujuan utama hidupnya adalah ingin kaya. Pekerjaan tidak lagi dipandang dan dimaknai sebagai ‘pengabdian’ tetapi  disikapi hanya sebagai jalan untuk mendapatkan harta. Bahkan karena manusia gagal memaknai ‘bekerja‘ sebagai peristiwa  ‘mengabdi’ , manusia menjadi tereduksi hanya sebagai mesin pencari uang. Degradasi moral seperti ini telah membuat manusia hanya bersemangat untuk mendapat uang, tetapi tidak memiliki daya juang untuk bekerja. Dari sinilah pembusukan peradaban dimulai,karena hukum dan segala ‘tata krama’ sosial akan diterobos oleh manusia yang sudah dikuasai oleh syahwat material.

Kambing agar tidak ‘keluyuran’ memakan tanaman tetangga harus dibuatkan pagar. Pagar bagi kambing adalah fungsi hukum bagi manusia. Hukum dibuat dalam rangka memberi batas ‘benar dan salah’ atas perilaku manusia. Tatanan sosial masyrakat modern yang menempatkan orang kaya dalam posisi paling dihormati telah menyuburkan gairah syahwat manusia untuk ‘mati-matian’ mengejar dan mendapatkan harta. Batas-batas yang disepekati sebagai hukum agar martabat dan keberadaban kehidupan terjaga dan terkawal, menjadi  tidak dipedulikan. Jika Hukum sebagai batas terakhir yang memagari perilaku manusia agar tidak menyimpang dari kaidah benar dan salah sudah ‘kewalahan’, maka peradaban manusia sudah diambang batas keruntuhan. Artinya manusia menjadi berderajat lebih rendah dari binatang. Kondisi ini akan menjadi lebih parah jika aparat hukum sendiri tidak memiliki komitmen untuk menegakan hukum.
Di tengah peradaban materialisme, dimana jalan utama sejarah kebudayaan manusia kehilangan panduan batin dan nilai-nilai ruhani, institusi hukum menjadi sangat diharapkan peran kesejarahanya dalam menyelamatkan martabat dan kemuliaan sebuah peradaban. Ketika mental masyarakat terbonsai sedemikian rupa oleh tatanan sosial yang terstruktur berdasarkan parameter kebendaan, sangat mustahil rambu-rambu kultural berupa norma dan nilai-nilai yang bersifat cair akan bisa membendung ‘luapan air bah syahwat materialistic dan hedonistik’ masyarakat. Harus ada aturan formal dan padat berupa pasal-pasal hukum yang benar-benar ditegakan.

Ancaman sangsi keras dan tegas sebagai efek jera bagi siapa saja pelaku korupsi tampaknya menjadi ‘pembendung’ terakhir untuk segala bentuk kecenderungan  menyimpang. Jaksa, Hakim, Polisi harus benar-benar menyadari bahwa tugas mulia mereka adalah menjadi tiang penyangga tegaknya sebuah peradaban. Jika aparat hukum kehilangan ketahanan mental sehingga tembok moral mereka bisa ditembus oleh praktek-praktek suap, itu berarti harga hukum telah direndahkan menjadi sebatas harga ‘kacang rebus’, maka cepat atau lambat kebudayaan manusia sedang bergerak kedasar jurang sejarah melampaui kerendahan binatang.

Tetapi menyerahkan tugas penyelamatan peradaban hanya kepada institusi hukum tentu menjadi tidak adil, tanpa ada upaya – upaya moral kebudayaan secara simultan  dari setiap komponen sejarah. Karena tembok setebal apapun jika diterjang banjir bandang bertubi-tubi pasti akan runtuh. Gerakan untuk membalik kembali tata sosial dengan struktur yang sehat seirama dengan ‘jalan alam’, sebagaimana yang pernah dibangun oleh leluhur kita adalah jalan efektif untuk menciptakan situasi kondusif bagi lahirnya peradaban yang bermartabat. Ini harus dimulai dengan ‘suri teladan’ hidup sederhana dari para pemimpin. Ketika parameter terhormat  atau tidak terhormat  bukan lagi dipandang dari jumlah harta yang dimiliki, luapan air bah syahwat ingin kaya menjadi  reda. Peringatan hari anti korupsi sedunia tahun ini bisa kita jadikan ‘momentum’ pemantik kebangkitan dan penyadaran akan pentingnya menyelamatkan peradaban manusia.  Harus ada upaya kreatif dan sungguh – sungguh untuk pelan-pelan meredefinisi arti hidup sukses. Selama ini sukses dipahami secara masal oleh manusia modern sebagai banyak harta. Padahal berabad-abad leluhur kita hidup dengan ilmu dan pengetahuan mengenai sukses sebagai manusia adalah ketika kita memiliki produk moral sosial yang maslahat dan jumbuh dengan ‘kresaning Gusti’.

SOKAWERA, 26 NOV 2014
*Dibacakan saat Orasi Budaya dalam rangka Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di Kejaksaan Negeri Purbalingga dihadapan Muspida kabupaten Purbalingga, tanggal 9 Desember 2014.

Oleh Agus Sukoco • 15 Desember 2014 Dipublikasikan dengan tag Esai