Latest Updates

Manusia, Korupsi, dan Luapan Air Bah

sumber gambar
Pohon yang diletakan di dalam ruangan, secara alamiah akan bergerak menuju sumber cahaya. Pohon tidak punya alternatif sikap, kecuali patuh kepada sunatulloh.  Celah dan lubang sekecil apapun akan dipilih sebagai arah tumbuh oleh pohon yang ditaruh di sebuah ruang gelap, jika celah dan lubang itu adalah sumber cahaya. Pohon akan bergerak tumbuh berdasarkan ‘sangkan paran’ nilai dan hakekat alamiahnya.  Pohon sangat setia dengan ilmu dan pengetahuan dari Tuhan tentang hakekat kesehatan dan keselamatan hidup.

Sekian abad yang lalu bangsa kita hidup di dalam sebuah habitat sosial yang terkontruksi berdasarkan hakekat nilai yang alamiah. Kita tentu pernah mendengar tatanan sosial yang secara idiomatik terinspirasi dari aspirasi Hindu-Budha. Tatanan sosial dalam konsep kebudayaan masyarakatjawa yang kita kenal sebagai ‘kasta’. Tatanan sosial dan struktur budaya ‘kasta-wi’ oleh masyarakat modern dipahami secara reduktif dan distortif karena pengaruh sentimentalitas agama yang ditumbuhkan oleh semangat rivalisasi politik dan perspektif sejarah periodisasi. Padahal para leluhur kita telah berkontribusi besar dalam membangun suatu peradaban bermartabat dengan menciptakan tatanan sosial dan bangunan kebudayaan masyarakat yang berasal-usul dari dasar-nilai-filosofis  hakekat kebenaran alamiah dan universal.

Di dalam tatanan sosial masyarakat sekian abad silam, kita mengetahui bahwa posisi tertinggi dalam struktur sosial adalah Kaum Brahmana.  Kaum  Brahmana adalah orang dengan kualitas pribadi yang sudah bisa mengatasi kecenderungannya dengan segala hal yang bersifat duniawi. Kalau dalam Islam kualitas level dan maqom jenis ini adalah para ulama yang ‘zuhud’, yaitu manusia yang seluruh kesadaran hidupnya sudah memiliki ‘jarak rohani’ yang sangat jauh dari materi. Masyarakat pada jaman itu sangat menghormati kualitas pribadi semacam itu. Posisi sosial yang di tempati kaum Brahmana adalah posisi yang paling tinggi. Jika struktul sosial terbangun berdasarkan prinsip nilai yang memandang kualitas manusia berdasarkan parameter ruhaniah, maka itu berarti secara otomatis akan membuat  gerak kebudayaan manusia mengarah kepada nilai-nilai yang bersifat batiniah, dengan kata lain, materi atau harta tidak menjadi orientasi utama dalam skala prioritas hidup masyarakat. Semua orang akan melangkahkan hati dan seluruh kesadaran hidupnya kepada nilai-nilai yang dianggap dan diyakini bisa meninggikan derajat dan martabat hidupnya.Kondisi seperti ini menjadi sejalan dengan sebuah pohon yang selalu bergerak berdasarkan fitrah tradisi alam yaitu menuju dan mencari sumber cahaya. Kalau dalam perspektif Fisika kita mengenal fase transformative dari materi-energi- cahaya. Benda materi adalah padatan dengan derajat terendah dalam siklus dan metabolisme transformasi alam. Dalam agama setiap benda atau materi harus di ruhanikan, yaitu difungsi sosialkan menjadi kemanfaatan hidup.

Salah satu kebutuhan dasar manusia dalam pergaulan sosial adalah keinginan untuk ‘dihormati’. Jika parameter ‘keterhormatan’ seseorang adalah kualitas mental ‘zuhud’, maka dorongan syahwat untuk meraih materi menjadi terukur dan terkontrol oleh norma sosial. Masyarakat pada saat itu justru akan memandang keserakahan kepada harta adalah sebuah kehinaan. Ini bisa terlihat dari struktur ‘kasta’ masyarakat dalam tatanan sosial yang menempatkan orang kaya pada posisi sudra, yaitu posisi terendah.
Lain halnya dengan kondisi masyarakat modern yang menyebut dirinya demokratis, egaliter dan anti ‘kasta’, tetapi ‘diam-diam’ telah membalik tatanan hidup yang sesuai dengan fitrah alam dengan menciptakan ‘kasta’ baru. Dalam ‘kasta’ masyarakat modern keterhormatan hidup dilambangkan dengan kekayaan. Artinya orang yang paling banyak jumlah kekayaannya menempati posisi paling tinggi dalam struktur masyarakat modern. Kondisi seperti ini secara otomatis akan membuat manusia  sangat bernafsu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk ‘dihormati’ dalam pergaulan sosial.Tidak satupun manusia yang tidak ingin ‘terhormat’  kehidupan sosialnya. Karena ‘keterhormatan’  dalam masyarakat modern disyarati oleh kekayaan, maka semua manusia menjadi berlomba-lomba ingin mendapat harta sebanyak-banyaknya. Apapun profesi seseorang, tujuan utama hidupnya adalah ingin kaya. Pekerjaan tidak lagi dipandang dan dimaknai sebagai ‘pengabdian’ tetapi  disikapi hanya sebagai jalan untuk mendapatkan harta. Bahkan karena manusia gagal memaknai ‘bekerja‘ sebagai peristiwa  ‘mengabdi’ , manusia menjadi tereduksi hanya sebagai mesin pencari uang. Degradasi moral seperti ini telah membuat manusia hanya bersemangat untuk mendapat uang, tetapi tidak memiliki daya juang untuk bekerja. Dari sinilah pembusukan peradaban dimulai,karena hukum dan segala ‘tata krama’ sosial akan diterobos oleh manusia yang sudah dikuasai oleh syahwat material.

Kambing agar tidak ‘keluyuran’ memakan tanaman tetangga harus dibuatkan pagar. Pagar bagi kambing adalah fungsi hukum bagi manusia. Hukum dibuat dalam rangka memberi batas ‘benar dan salah’ atas perilaku manusia. Tatanan sosial masyrakat modern yang menempatkan orang kaya dalam posisi paling dihormati telah menyuburkan gairah syahwat manusia untuk ‘mati-matian’ mengejar dan mendapatkan harta. Batas-batas yang disepekati sebagai hukum agar martabat dan keberadaban kehidupan terjaga dan terkawal, menjadi  tidak dipedulikan. Jika Hukum sebagai batas terakhir yang memagari perilaku manusia agar tidak menyimpang dari kaidah benar dan salah sudah ‘kewalahan’, maka peradaban manusia sudah diambang batas keruntuhan. Artinya manusia menjadi berderajat lebih rendah dari binatang. Kondisi ini akan menjadi lebih parah jika aparat hukum sendiri tidak memiliki komitmen untuk menegakan hukum.
Di tengah peradaban materialisme, dimana jalan utama sejarah kebudayaan manusia kehilangan panduan batin dan nilai-nilai ruhani, institusi hukum menjadi sangat diharapkan peran kesejarahanya dalam menyelamatkan martabat dan kemuliaan sebuah peradaban. Ketika mental masyarakat terbonsai sedemikian rupa oleh tatanan sosial yang terstruktur berdasarkan parameter kebendaan, sangat mustahil rambu-rambu kultural berupa norma dan nilai-nilai yang bersifat cair akan bisa membendung ‘luapan air bah syahwat materialistic dan hedonistik’ masyarakat. Harus ada aturan formal dan padat berupa pasal-pasal hukum yang benar-benar ditegakan.

Ancaman sangsi keras dan tegas sebagai efek jera bagi siapa saja pelaku korupsi tampaknya menjadi ‘pembendung’ terakhir untuk segala bentuk kecenderungan  menyimpang. Jaksa, Hakim, Polisi harus benar-benar menyadari bahwa tugas mulia mereka adalah menjadi tiang penyangga tegaknya sebuah peradaban. Jika aparat hukum kehilangan ketahanan mental sehingga tembok moral mereka bisa ditembus oleh praktek-praktek suap, itu berarti harga hukum telah direndahkan menjadi sebatas harga ‘kacang rebus’, maka cepat atau lambat kebudayaan manusia sedang bergerak kedasar jurang sejarah melampaui kerendahan binatang.

Tetapi menyerahkan tugas penyelamatan peradaban hanya kepada institusi hukum tentu menjadi tidak adil, tanpa ada upaya – upaya moral kebudayaan secara simultan  dari setiap komponen sejarah. Karena tembok setebal apapun jika diterjang banjir bandang bertubi-tubi pasti akan runtuh. Gerakan untuk membalik kembali tata sosial dengan struktur yang sehat seirama dengan ‘jalan alam’, sebagaimana yang pernah dibangun oleh leluhur kita adalah jalan efektif untuk menciptakan situasi kondusif bagi lahirnya peradaban yang bermartabat. Ini harus dimulai dengan ‘suri teladan’ hidup sederhana dari para pemimpin. Ketika parameter terhormat  atau tidak terhormat  bukan lagi dipandang dari jumlah harta yang dimiliki, luapan air bah syahwat ingin kaya menjadi  reda. Peringatan hari anti korupsi sedunia tahun ini bisa kita jadikan ‘momentum’ pemantik kebangkitan dan penyadaran akan pentingnya menyelamatkan peradaban manusia.  Harus ada upaya kreatif dan sungguh – sungguh untuk pelan-pelan meredefinisi arti hidup sukses. Selama ini sukses dipahami secara masal oleh manusia modern sebagai banyak harta. Padahal berabad-abad leluhur kita hidup dengan ilmu dan pengetahuan mengenai sukses sebagai manusia adalah ketika kita memiliki produk moral sosial yang maslahat dan jumbuh dengan ‘kresaning Gusti’.

SOKAWERA, 26 NOV 2014
*Dibacakan saat Orasi Budaya dalam rangka Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di Kejaksaan Negeri Purbalingga dihadapan Muspida kabupaten Purbalingga, tanggal 9 Desember 2014.

Oleh Agus Sukoco • 15 Desember 2014 Dipublikasikan dengan tag Esai


U19, Senja dan Fajar

U19, Senja dan Fajar
Kalau ada di antara Anda yang berusia setua saya dan punya anak atau cucu umur 18-19 tahun, kalau sempat nanti tolong sempatkan diri menatap wajahnya.
Sambil mengagumi gagah tubuhnya, amati ekspressi airmukanya, menyelamlah ke dalam kandungan sorot matanya. Jiwanya sedang pancaroba: ia masih membawa kesejatian batin dari Tuhan penciptanya, tapi juga sedang mulai meng-akses dunia orang dewasa, yang tingkat komplikasi tata-nilainya baru sangat sedikit mereka pahami.
Cak Nun bersama coach Indra Syafri
Cak Nun bersama coach Indra Syafri
Persentuhan ‘asal usul’ dan ‘sangkan paran’ (budaya manusia dewasa yang tidak bisa mereka elakkan untuk secara dinamis ‘menggerus’ jiwa mereka) akan bisa berharmoni, tapi mungkin juga akan bertubrukan, bertentangan, dan akan ada yang terbunuh dari bagian-bagian batin anak cucu kita 19 tahun itu.
Usia mereka adalah era persimpangan, pertempuran orientasi, komplek nilai-nilai yang mendera. Kita semua orang-orang tua harus memberi perhatian khusus kepada kondisi mereka, dan mengupayakan sekecil mungkin kita lakukan kesalahan di dalam memperlakukan mereka pada ranah nilai apapun yang berkaitan dengan dinamika kejiwaan mereka.
Sholat Magrib berjamaah saat silaturahmi Timnas U19 ke Rumah Maiyah Rubud EAN
Sholat Magrib berjamaah saat silaturahmi Timnas U19 ke Rumah Maiyah Rubud EAN
Beberapa puluh di antara anak cucu kita itu, yang sejumlah 23 pemuda di antara mereka sedang berada di Myanmar hari-hari ini, yang di pundak mereka kita letakkan beban yang sangat berat, harapan, tuntutan, kewajiban, atau apapun saja namanya yang intinya adalah ‘Indonesia menang’, dikasih jembatan yang bernama ‘Ayo Indonesia Bisa’.
Tuntutan yang berskala nasional itu bisa jadi tidak sekedar berkonteks sepakbola, tapi juga merupakan keluaran dari kompleks kekalahan-kekalahan nasional di segala bidang: frustrasi politik, ketidakamanan beragama, kegamangan demokrasi, disinformasi informasi, ketidakjelasan bernegara, ketidak-berwajahan kebudayaan, bahkan juga stress sehari-hari setiap orang, dari PKL yang lari-lari tergusur hingga orang parlemen yang sakit hati dan pemenang yang pelantikannya terulur-ulur.
Ada yang mengatakan, “Sesungguhnya rakyat Indonesia tidak memperlukan Pemerintah yang baik. Pemerintah dan Negara ada atau tidak sebenarnya juga relatif legitimasi kerakyatannya. Kalau ada Pemerintah korupsi, nggak apa-apa juga asal jangan terlalu berlebihan. Atau kalau terpaksanya Pemerintah memang direstui Tuhan pekerjaannya ngrepotin rakyat dan mentikusi harta rakyat, mungkin tidak terlalu masalah juga – asalkan timnas sepakbola kita menang….”
“Timnas menang” itu hari ini bak gunung di punggung kesebelasan U19 kita, dan untuk anak cucu kita usia 18-19 tahun gunung itu bisa saja tak tersangga dengan cukup kuat, meskipun sudah selalu ada refreshing agar mereka “bermain tanpa beban saja”. Mereka turun ke lapangan dicambuki oleh teriakan-teriakan “Ayo! Indonesia Bisa!” — secara psikologis kalimat itu lebih logis diucapkan oleh atmosfir ketidak-bisaan nasional kita di banyak bidang. Sebagai kakek saya mungkin ikut berteriak “Ayo, kamu bisa!”, dan teriakan itu landasan faktanya adalah karena saya sendiri selama ini nggak bisa-bisa.
Cak Nun, Novia Kolopaking, KiaiKanjeng, Letto dan Timnas U19
Cak Nun, Novia Kolopaking, KiaiKanjeng, Letto dan Timnas U19
Dalam pertandingan melawan Uzbekistan saya merasakan sendiri beratnya beban anak cucu 19 tahun itu. Mereka bermain tidak tanpa beban, melakukan beberapa kesalahan sehingga gol di gawang mereka. Padahal sebenarnya kelas mereka sama sekali tidak di bawah Uzbekistan. Tatkala pulang dari stadion naik bus dan ketika makan bersama, saya pandangi wajah-wajah mereka, dan sungguh tidak tega. Saya tidak bisa tidur, sampai kemudian berbincang dengan coach Indra Sjafri dan coach lainnya, juga dengan Pak Djohar Arifin, baru saya ‘hidup’ lagi.
Ternyata saya pun hanya orang-kecil salah satu penduduk Nusantara yang hati saya hari-hari ini sangat tergantung kepada acak cucu saya sendiri. Sedemikian lemahnya saya. Pak Djohar bilang ke wartawan “Cak Nun ini aktif mengawal pembinaan U19 di Yogya, beliau orang tuanya anak-anak kita itu di sana….” — dan ternyata itu tidak tepat amat. Sebab justru sayalah yang sangat bergantung kepada kekaguman dan kebanggaan saya kepada acak cucu 19 tahun itu.
Silaturrahmi Timnas U19 ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Silaturrahmi Timnas U19 ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Saya tidak mengerti sepakbola, maka saya Tanya kepada seorang teman dan ia berceramah bahwa:
“Timnas Indonesia U19 itu pernah jaya di tahun 1961. Saat itu Juara di Asia ketika turnamen berlangsung di Bangkok. Kondisi saat itu hampir sama dengan sekarang, konflik di PSSI. Kemudian U19 pernah lolos ke Piala Asia lagi tahun 1978. Gagal total, tapi lolos ke piala dunia karena dinilai pembinaan pemainnya bagus. Saat itu yang boleh lolos ke Piala Dunia adalah finalis, jadi 2 tim saja.
Indonesia saat itu hanya sampai semifinal. Alasan FIFA saat itu hanya karena Indonesia memiliki sistem pembinaan pemain yang bagus, juga punya turnamen di kelompok usia yang lengkap, jadi diloloskan ke Piala Dunia. Harusnya yang lolos Irak, tapi ada dugaan konflik di FIFA, maka Indonesia yang lolos. Tampil di Piala Dunia U20, tapi gagal total juga. Dibantai Argentina 0-5, dihajar Yugoslavia 0-5 dan dibantai Polandia 0-6. SEA Games 1991 adalah prestasi tertinggi Indonesia, meraih medali emas.
Setelahnya langganan runner-up, baik di Sea Games maupun di AFF Cup (keduanya turnamen ASEAN). Piala AFF U19 2013 yang lalu sebenarnya juga dipandang sebelah mata. Masyarakat Indonesia mencapai titik jenuh karena sepakbola tidak menampilkan prestasi yang lebih tinggi dari sekedar runner up. Gegap gempita AFF U19 tidak seperti AFF 2010 yang lalu (timnas senior).
Sabrang (Noe Letto) pada saat silaturrahmi Timnas U19 ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Sabrang (Noe Letto) pada saat silaturrahmi Timnas U19 ketika Idul Adha di Kasihan Bantul
Begitu tembus semifinal dan final, Masyarakat baru sadar ada timnas yang baru yang memiliki masa depan cerah. Evan Dimas Juara, dan sebulan setelahnya berhasil lolos ke Piala Asia U19 setelah menyapu bersih 3 pertandingan kualifikasi Piala Asia di Jakarta melawan Laos, Philipina dan Korea Selatan.
Akibat jarang berprestasi, maka masyarakat memukul rata, nggak peduli timnas U19, U23 atau yang senior, pokoknya Indonesia harus juara. Harapan muncul di Timnas U19 ini. Makanya untuk Piala Asia ini agak rame sambutannya. Padahal kalau dibilang level, ini hanya U19.”
Mendengar ceramah kawan itu saya menemukan betapa bodoh dan kejamnya saya: diam-diam menuntut anak-cucu saya sendiri untuk pasti harus lolos ke Piala Dunia seakan-akan kita sudah langganan masuk ke putaran Piala Dunia.
Maka, berkat teman itu, ketika seorang wartawan bertanya, “Apakah U19 ini merupakan harapan bagi kebangkitan sepakbola Indonesia?” Saya menjawab, “Sudah bangkit! Anak-anak ini dengan para pemimpinnya sudah berlaku benar, baik dan khusyu, tidak hanya sebagai pemain sepakbola, tapi juga sebagai Manusia-Sepakbola dengan segala faktor kemanusiaan dan dimensi-dimensi psikologisnya, tidak hanya menghitung komposisi kepribadian per-individu, tapi juga latar belakang budayanya, level sosialnya, bahkan tradisi spiritualnya. Kita sudah bangkit. Kita sudah mulai berbuat benar dalam bersepakbola”.
“Bukankah kebaikan ditentukan oleh kemenangan?”
“Ya. Saya juga ingin mereka menang dan lolos. Tapi itu bukan satu-satunya faktor. Sebagaimana Anda kawin terus istrimu hamil, atau Anda bertani terus panen: hamil dan panen itu bagian Tuhan. Bagian kita adalah berjuang menghamili, berjuang menanam, berjuang menjalankan budaya dan mental persepakbolaan yang benar. Andaikan mereka tidak lolos, saya tetap kagum dan bangga berdasarkan sejarah prestasi mereka selama ini. Saya tetap cinta mereka.”
SIlaturrahmi Timnas U19 dengan beberapa panti asuhan yatim piatu di UNY
SIlaturrahmi Timnas U19 dengan beberapa panti asuhan yatim piatu di UNY
Tentu saja omongan saya yang kayak gitu tidak akan keluar di media massa apapun. Dan memang sebaiknya tidak dimuat, karena saya bukan pelaku sepakbola, bukan pengurus sepakbola, dan tidak punya posisi apapun di U19 maupun di persepakbolaan nasional.
Saya sekedar seorang kakek yang memprihatini masakini Indonesia dan mencintai kebangunan masa depannya. Ada bagian dari Indonesia yg sedang melangkah pasti menuju jurang kematian, ada bagian lain dari Indonesia yg diam-diam sedang menyusun kelahiran dan bahkan sudah lahir, sebagaimana U19 dalam persepakbolaan maupun “19” di bidang pertanian, innovasi tekonologi, kedewasaan beragama, kematangan pembelajaran politik dlsb. Saya juga saya temani hampir tiap hari di berates-ratus wilayah Negeri ini.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari.
Ada bagian dari Indonesia gegap gempita memuncaki kehancuran, ada bagian lain dari Indonesia yang tak kentara sedang menata kebangkitan.
Ada bagian dari Indonesia yang sedang riuh-rendah menyempurnakan kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia yang tersembunyi dari pemberitaan sedang merintis kesejatian.
Ada bagian dari Indonesia yang habis-habisan menyebarkan sihir, takhayul dan halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia yang menaburkan kasunyatan kebenaran.
Ada bagian dari Indonesia yang mati-matian menyebarkan kecemasan, kesedihan dan pertengkaran, ada bagian lain dari Indonesia yang berkelana menyemarakkan persaudaraan, kesatuan dan kegembiraan.
Ada bagian dari Indonesia yang melemparkan sebagian bangsanya ke masa silam, ada bagian lain dari Indonesia yang merintis pembuatan fondasi dan batubata masa depan.
Di bagian fajar hari itulah saya hadir.
Yangon, 11 Oktober 2014.
Dimuat di http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2014/10/12/103315/2716358/425/u-19-senja-dan-fajar

Allah dan Tetangga

sumber gambar

Meskipun doa itu bebas sensor, tapi musti dikira-kira bukan? Allah menawarkan kepada hamba-hambaNya agar memohon kepadaNya dan Ia berjanji akan mengabulkan.
Jangankan Allah, sedangkan tetangga sebelah — kalau sehari-hari kepadanya kita tidak menunjukkan sikap yang baik dan bertanggung jawab sebagai makhluk sosial — tentu ia malas untuk punya ide mengirimi makanan kepada kita.
Bahkan seandainya kita bersikap tidak tahu diri dan nekad bertamu ke rumahnya mengemukakan kebutuhan: Anda tentu setuju bahwa menyuguhi segelas teh sajapun diam-diam hatinya tidak ikhlas.
Pernahkah kita memperlakukan Allah lebih baik, santun dan bertanggung jawab, dibanding perlakuan kita kepada para tetangga?

sumber : caknun.com

Demokrasi dan ‘Egomania’


Saya menduga keras bahwa secara ilmu bahasa, istilah ‘egomania’ tampaknya tak bisa dibenarkan. Tetapi saya tidak sanggup menjumpai idiom lain untuk mewakili apa yang hendak saya jelaskan.
Ialah suatu kondisi mentalitas di mana ‘kosmos kepribadian’ seseorang hampir seluruhnya diisi oleh hanya dirinya sendiri. ‘Dirinya sendiri’ itu mungkin lebih gamblang kalau saya sebut ego-pribadi, atau bahasa umum menyebutnya ‘interest pribadi’. Idiom yang saya gunakan itu memakai kata ‘mania’ untuk menerangkan kadar kepenuhan interest pribadi itu di setiap sepak terjang seseorang. ‘Stadium tinggi’ egoisme itu membuat orang tersebut tidak memiliki aktivitas sosial, karena setiap perilaku ‘sosial’nya sesungguhnya merupakan aktivitas pribadi. Dengan kata lain, seluruh dunia ini, orang lain, lingkungan, fasilitas-fasilitas kehidupan, hanyalah ‘bagian’ dari egonya.
Anda boleh membayangkan jika —misalnya— negara, partai politik, lembaga-lembaga sosial, rakyat, tanah, hasil bumi, atau lebih eksplisit: institusi Ikadin atau AAI umpamanya hanyalah bagian dari egoisme atau interest pribadi-pribadi.
Sesungguhnya Anda boleh percaya bahwa hal demikian sudah merupakan pemandangan ‘lumrah’ di sekitar kita. ‘Pancasila’, ‘Islam’, ‘Kesatuan dan Persatuan’, ‘Manusia Indonesia Seutuhnya’, ‘Konstitusi’, atau apapun, amat sering diucapkan tidak sebagai kebenaran diri idiom-idiom itu sendiri, melainkan sebagai alat dari proyek interest-interest pribadi. Pancasila seringkali hanyalah berfungsi instrumental, sedang yang substansial adalah ‘egomania’.
Sesungguhnya pula, jika Anda memasuki hakekat realitas dunia perpolitikan — dalam konteks sempitnya maupun konteks luasnya — pandangan mata Anda insyaallah akan bergelimangan egomania. Lantas Anda akan juga merasa tergetar apabila menyaksikan betapa batu cadas egomania itu dikonstruksikan dengan pilar-pilar kekuasaan politik, fundamental-fundamental beton persenjataan, serta dinding-dinding tebal kulturalisme dan ‘birokratisme’.
Jika sebuah komunitas, atau setidaknya sebuah organisasi, mengalami keretakan: Anda silahkan bersangka baik bahwa itulah mekanisme demokrasi. Itulah potret pluralitas di mana perbedaan pendapat dan kehendak boleh dipergunakan.
Akan tetapi jika kemudian Anda menjumpai bahwa itu bukanlah perbedaan pendapat tentang kebenaran, melainkan benturan kepentingan-kepentingan ‘egomania’, persilahkanlah hati nurani Anda menitikkan air mata.
Apalagi jika cara untuk berbeda yang dipakai oleh kaum intelektual, priyayi modern, pengemban prinsip hukum, serta teladan bagi jutaan rakyat yang selalu dituduh ‘buta hukum’ — persis dengan cara para korak atau gali membenturkan perbedaan.
Kita adalah manusia modern yang tak tahu diri. []
Pernah dimuat di Rubrik Wall Pass, Yogya Post, Jumat Pon, 3 Agustus 1990
Dokumentasi Progress


Wajah Komersial

sumber gambar
Kalau kita buang angin, yang kita cuci atau kita basuh dengan air dalam berwudlu, bukanlah wilayah biologis yang mengeluarkan angin itu, melainkan wajah kita. Mungkin karena yang harus terutama dipertahankan oleh manusia adalah kebersihan jiwa dan kualitas kepribadiannya, yang tercermin atau diwakili oleh penampilan wajahnya.
Akan tetapi pikiran dan prinsip semacam itu tidak cocok dengan dunia modern, karena tidak realistis dan kurang pragmatis. Yang paling utama dari wajah manusia bukanlah muatan mutunya, bukan keindahan pribadinya, juga bukan tanggung jawab sosialnya — melainkan apakah ia komersial atau tidak, marketable atau tidak, alias layak jual atau tidak.
Sebagian dari Anda tentu tidak pernah menyangka bahwa Tuhan menciptakan wajah manusia itu urusan utamanya adalah jual beli kepribadian dan kemanusiaan.
sumber

The Politics of Kissing Hands

sumber gambar
Seorang pembaca harian ini dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya — sejak beberapa bulan yang lalu menuntut saya agar  menuliskan lewat rubrik ini suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.
Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga sangat concern terhadap soal ini,  terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt sendiri — sepengetahuan saya — soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.
Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.
Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu  malaikat menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu — dari “cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.
Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun kosakata yang sama.
Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi Qur’aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa Adam ituahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi “cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki “tembok statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat, sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih rendah dibanding iblis dan setan.
Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah regenerasi” — maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak kemarin sore” kok mau sok memimpin.
Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan, sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?
Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah “pengembaraan ke cakrawala kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang, waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib  menghormati.
Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses memposisikan diri untuk dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke manapun mereka pergi.
Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis — berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.
Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu tempat berdiri nilai — yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang ‘alim — sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat untuk selalu sowan kepada umara.
Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.
Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak cerita mengenai ‘kesombongan’ ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa menghadap penguasa.
Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama.
Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan, keamanan politik praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi — meskipun sekedar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.
Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa mereka adalah ulama.
Pernah dimuat di Keranjang Sampah Harian Umum Republika.

Jadwal Maiyah dan Agenda Cak Nun Mei 2014

sumber gambar


Seminar “Budaya, Kemandirian dan Martabat Bangsa”

Sarasehan Budaya

Majlis Masyarakat Maiyah: Kenduri Cinta

Majlis Masyarakat Maiyah: Juguran Syafaat

Isra’ Mi’raj dan Hari Jadi Kab. Wonogiri

Majlis Masyarakat Maiyah: Mocopat Syafaat

Majlis Masyarakat Maiyah: Gambang Syafaat

Banawa Sekar

Haflah Akhirussannah

INFORMASI