Latest Updates

Diskusi Buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya”


Monggo dulur sedoyo. Mari kawan-kawan sekaliuan hadir di Rumah Budaya Emha Ainun Nadjib bekerjasama dengan Penerbit Buku Kompas akan menggelar diskusi buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya” karya Emha Ainun Nadjib pada Jum’at 3 Mei 2013 pukul 19.00 WIB bertempat di Rubud EAN Jl. Barokah 287 Kadipiro Yogyakarta.

Hadir sebagai pembicara adalah Toto Rahardjo (konsultan sosial-pendidikan dan pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta), EH.
Kartanegara (penulis dan fotografer dari Pekalongan) dan Patricius Cahanar (Manager Eksekutif Penerbit Buku Kompas). Pada sesi akhir diskusi ini nanti Budayawan Emha Ainun Nadjib akan memberikan pitutur budaya. Sementara itu, kelompok musik The Simple Life, dari Universitas Negeri Yogyakarta, juga akan berpartisipasi mempersembahkan sejumlah nomor lagu.

Buku “Indonesia Bagian Dari Desa Saya” ini diterbitkan kembali oleh Penerbit Buku Kompas setelah hampir 30 tahun lalu diterbitkan oleh Penerbit Jatayu Surakarta dan SIPRESS Yogyakarta. Buku ini merekam pemikiran-pemikiran sosial Emha Ainun Nadjib pada masa akhir tahun tujuh puluhan mengenai pelbagai persoalan sosial-kebudayaan Indenesia. Pergeseran nilai-nilai di dalam masyarakat Indonesia pada skala lokal-desa hingga perkotaan-modern dideskripsikan dan dianalisis secara khas dan detail oleh budayawan Emha Ainun Nadjib dalam 29 esainya yang terhimpun dalam buku ini.

Menariknya, substansi-substansi persoalan yang menjadi sorotan Emha saat itu bisa dikatakan tetap berlangsung hingga saat ini. Sekurang-kurangnya hal itu dapat dirasakan ketika membaca esai-esainya berjudul ‘Nonton Pisyi’, ‘Apa Ada Angin di Jakarta’, ‘Dari Kelontong Pinggiran ke Kubu-Kubu Metropolitan’, ‘Berapa Jumlah Hasan di Desa’, ‘Miskin Pola Ekspresi: Salah Satu Masalah Anak-anak Muda Kita’, ‘Potensi Epigonis Masyarakat Kita’, ‘Anak-anaku, Siapakah Sebenarnya Engkau’, dan ‘Indonesia Bagian Dari Desa Saya’ itu sendiri yang diangkat sebagai judul buku ini.

Dengan diskusi buku ini, diharapkan kesadaran akan pergeseran sosial dalam masyarakat Indonesia yang senantiasa terus berjalan dapat kembali dicermati dan direnungi bersama demi menatap masa depan secara lebih jernih dan kreatif di tengah kemungkinan kita tak lagi merasa perlu akan analisis-analisis sosiologis dalam membaca perkembangan zaman. Karenanya, dalam segmen Pitutur Budaya nanti Budayawan Emha Ainun Nadjib akan menyampaikan refleksi sosial-historis atas pelbagai dinamika kemasyarakatan di sekitar kita.

Diskusi akan menambah wawasan kita. Membuka pikiran yang ruwet menjadi mudah, tentunya juga dengan nara sumber yang renyah dan mendalam.

Cara Makan Selebritis

Cara Makan Selebritis
Caknun memberikan gambaran tentang cara makan kaum selebritis. Dan nabi kita Muhammad SAW menjadi teladan buat umatnya.
Kaum selebritis itu mewah, ilmiah, elite, pokoknya berbeda dengan kebanyakan orang, termasuk dalam soal makan.
Kebanyakan orang pergi makan kapan ia ingin makan. Sedangkan selebritis hanya makan kalau sudah hampir tiba di titik ambang kelaparan. Sebab kalau ia membiarkan diri kelaparan, berarti ia melanggar amanat Tuhan untuk merawat kesehatan badan.
Kebanyakan orang makan sekenyang-kenyangnya. Sedangkan selebritis berhenti makan sebelum menyentuh keadaan kenyang, sebab pada batas itulah terletak optimalitas kesehatan dan kecerahan kreativitas hidup.
Kebanyakan orang memilih makanan yang disukainya. Sedangkan selebritis mengambil makanan yang menyehatkannya jasmani rohani, atau dengan kata lain yang halal dan thayyib.
Kebanyakan orang menghindarkan diri dari makanan yang tak disukainya. Sedangkan selebritis siap mengunyah dan menelan apa saja, meskipun pahit, amis dan tak disukainya – dengan syarat bahwa itu adalah kebaikan sosial yang wajib dikerjakannya.
Dalam semua konteks yang saya sebutkan ini, Nabi Muhammad adalah pemimpin kaum selebritis.
Semoga bermanfaat.
sumber : caknun.com

Perkara Lapar

Perkara Lapar

Kalau LAPAR itu pasti akibat tidak atau belum makan. Perkaranya adalah kenapa tidak atau belum makan? Kalau tidak makan disebabkan karena puasa atau diet itu karena unsur niat, disengaja. Ada pula tidak atau belum makan dikarenakan lupa, sangking asyieknya sedang melakukan aktifitas tertentu sehingga pada waktunya makan tidak dilakukannya — hal semacam ini juga tak bisa menyalahkan pihak lain, tidak makan karena kealpaan yang terjadi pada dirinya sendiri itu pasti merupakan kesalahan dirinya sendiri, bisa saja menyalahkan orang-orang disekitarnya, kenapa tidak mengingatkan untuk makan karena sudah waktunya makan?
Yang justru wajib dipersoalkan apabila ada orang kelaparan disebabkan karena memang tidak ada pangan yang harus dimakannya. Ini belum mempersoalkan apa makanan yang dimakan; bagaimana kandungan gizi, nutrisi, higienis — sehat apa tidak? Darimana asal-usul makanannya? Itu makanan pabrikan apa makanan lokal? Makanan import yang penuh dengan bahan pengawet? Atau makanan yang berasal dari bahan-bahan hasil rekayasa genetika yang tidak pernah jelas status keamanannya? Bagi golongan yang anti babi apakah yakin bahwa apa yang dimakan sama sekali tak ada unsur babinya? Karena ada banyak tanaman hasil rekayasa yang menggunakan gen babi. Hal lain lagi, apakah sudah jelas apa yang kita makan sungguh-sungguh berasal dari bahan makanan yang bukan hasil dari penyelundupan? Apakah apa yang kita makan yakin bukan dari hasil colongan (mencuri) bahkan dari hasil korupsi? Masih bisa dideretkan lagi beribu-ribu pertanyaan….
Kembali pada pertanyaan; “Mengapa ada orang atau pihak yang tengah kelaparan, karena tidak ada yang dimakan?” Ternyata untuk menjawab pertanyaan itu ada dua golongan yang berbeda menjawabnya. Golongan pertama menanggapi bahwa kenapa itu terjadi karena orang-orang yang tengah kelaparan itu memang pada dasarnya tingkat pendidikan rendah, maka dari itu mereka miskin ditambah lagi motivasi kerja rendah (boleh dikata malas kerja). Golongan kedua berkeyakinan, mengapa ada orang-orang yang kelaparan itu disebabkan karena ada pihak-pihak yang sangat rakus makan, maka ada pihak lain yang tidak kebagian jatahnya.
Hal di atas sebetulnya bukan hanya melulu soal pangan, coba seandainya “kelaparan” diganti dengan “kemiskinan”, pasti tidak jauh berbeda, karena ini sangat terkait dengan cara berfikir. Padahal cara berfikir yang akan menjadi pemandu tindakan (boleh dikata ini ilmu pasti). Cara berfikir golongan pertama sangat jelas bahwa yang dipersalahkan malah orang yang sedang mengalami kelaparan — sudah jadi korban dipersalahkan pula (blaming the victim), boleh dibilang golongan pertama, sejak dari pikirannya saja sudah menyalahkan korban. Kira-kira cara berfikir semacam ini akan memandu pilihan tindakan seperti apa? Yang pasti apapun pilihan tindakan (tema, metode, strategi), sasaran objeknya adalah si korban. Anggapan bahwa sikorban itu yang bermasalah. Seandainya si korban adalah mobil pasti sudah dibawa ke bengkel untuk diperbaiki. Paling-paling akan ada sekian program untuk orang-orang yang sedang kelaparan itu, misalnya; program training motivasi, dakwah, bantuan makanan, tambahan makanan gizi sesaat dan tindakan karitatif lainnya. Coba Anda bayangkan seandainya yang memiliki cara pandang demikian adalah orang atau pihak yang memiliki kekuasaan? Bagi golongan kedua, jelas cara pandangnya terbalik dari cara pandang golongan pertama.
Golongan kedua sama sekali tidak berani menyalahkan mereka yang tengah kelaparan, atau kaum miskin pada umumnya. Namun melihat dengan seksama; “apa yang keliru, kenapa ada seseorang yang tidak kebagian jatahnya?”, “apakah ada aturan main yang mempermudah pihak-pihak dengan leluasa mengambil jatah orang lain?”
Mengambil jatah orang lain dalam ukuran besar bisa disebut menguasai, mencuri, korupsi. Menguasai sumber daya alam, mengkorup anggaran untuk kesejahteraan rakyat, menimbun barang-barang kebutuhan masyarakat. Golongan ini tidak melihat bahwa kelaparan atau kemiskinan pada umumnya terkait dengan pendidikan rendah, dengan rendahnya motivasi. Yang mendasar bahwa ada sistem yang tidak adil yang mempermudah para pencuri sehingga melahirkan kelaparan dan kemiskinan masyarakat berkepanjangan. Maka bagi aliran ini; kelaparan ataupun kemiskinan adalah akibat dari ketidakadilan, akibat dari sistem yang mempersilahkan orang-orang atau pihak-pihak leluasa untuk mengumbar hasrat keserakahannya, membiarkan akhlak “perilaku makan” kanibalisme — makan tidak sederhana sekadar mengisi perut karena lapar. Namun kepentingan makan ternyata dipengaruhi oleh nafsu kerakusan untuk menguasai kehidupan manusia.

Kembali Urusan Pangan

“Sangat jelas bahwa persoalan kelaparan bukan disebabkan karena kekurangan bahan pangan, namun lebih pada ketiadaan akses atas bahan pangan, terutama bagi kalangan penduduk miskin”. Statemen yang dilontarkan pada tahun 1982 oleh Institute for Food & Development Policy yang berbasis di Oakland, California lalu diterbitkan dalam buku karyaFrances Moor Lappe, Peter Rosset dan Joseph Collins dengan judul: World Hunger: Twelve Myths (Kelaparan Dunia: Dua Belas Mitos).
Masalah pangan menjadi topik penting dalam agenda kebijakan ekonomi dan politik dunia, sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai urusan “teknis pertanian” belaka. Singkat kata, persoalan pangan dan kekurangan pangan — serta kelaparan, kekurangan gizi, kematian yang diakibatkannya — adalah persoalan politik-ekonomi yang lebih banyak ditentukan di belakang meja para politisi dan pembuat kebijakan, ketimbang di laboratorium atau di ladang-ladang percobaan para pakar pertanian. Di belakang mereka semua adalah para pemilik modal raksasa, penguasa industri pangan dan kimia pertanian yang membiayai mereka, termasuk dalam rangka mengembangkan tentang mitos kelangkaan bahan pangan.

Oleh  


sumber : caknun.com 

Jadwal Maiyah Cak Nun Rutin 2013

Jadwal Maiyah Cak Nun Rutin 2013