sumber gambar |
Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget
lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa
hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan
secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan kehidupan
ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh — namun ia
menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor
yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa
Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….
Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut
bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan
watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu
pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau
di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau
di satu dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain
Ia Maha Penahan Rejeki — terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu
suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.
Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau
menyiksa hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang
relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka
mbalelo kepadaNya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak
menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu
dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan
tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau
Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki
itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda
agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih
tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi
kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara
tiga kemungkinan.
Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan
mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik.
Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan
kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman.
Ini lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan
pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide
penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak
sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya — yang
membuat Saridin berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha
pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah
Entertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia….”
Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di
muka bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat
sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami
kehendak-kehendak Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di
sorga, Tuhan sengaja bikin pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam
menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk menggoda
agar Adam melanggar larangan itu — dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua
terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di
bumi.
Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara.
Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan
melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen
memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua
alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup
manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau
kita kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada
pemerintah.
Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di
bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan
lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin
banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan
semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara
sosialis dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun
sama rata sama rasa — dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak
boleh membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis,
setiap orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat — tapi
dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani
bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.
Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang
mengharmonisasikan dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri
kapitalis. Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu
protes-protes, karena toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda
jamin sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI,
PCPP, YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda
beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa
kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara
psikologis — seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari
yang Maha Kuasa.
Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok
ya langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini
ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga
bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam, lantas
di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional —
Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi
idola.
Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian
dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi
manusia dan lain sebagainya — Setan banyak menjadi wacana utama. Para
penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak
memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk
bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa
ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan — Saridin bahkan
membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin
lebih besar dibanding kematian….
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)
0 Response to "Mbok Nggak Usah Ada Neraka"
Post a Comment