sumber gambar |
Pohon yang
diletakan di dalam ruangan, secara alamiah akan bergerak menuju sumber cahaya.
Pohon tidak punya alternatif sikap, kecuali patuh kepada sunatulloh.
Celah dan lubang sekecil apapun akan dipilih sebagai arah tumbuh oleh pohon
yang ditaruh di sebuah ruang gelap, jika celah dan lubang itu adalah sumber
cahaya. Pohon akan bergerak tumbuh berdasarkan ‘sangkan paran’ nilai dan
hakekat alamiahnya. Pohon sangat setia dengan ilmu dan pengetahuan dari
Tuhan tentang hakekat kesehatan dan keselamatan hidup.
Sekian abad
yang lalu bangsa kita hidup di dalam sebuah habitat sosial yang
terkontruksi berdasarkan hakekat nilai yang alamiah. Kita tentu pernah
mendengar tatanan sosial yang secara idiomatik terinspirasi dari aspirasi
Hindu-Budha. Tatanan sosial dalam konsep kebudayaan masyarakatjawa yang kita
kenal sebagai ‘kasta’. Tatanan sosial dan struktur budaya ‘kasta-wi’
oleh masyarakat modern dipahami secara reduktif dan distortif karena pengaruh sentimentalitas
agama yang ditumbuhkan oleh semangat rivalisasi politik dan perspektif
sejarah periodisasi. Padahal para leluhur kita telah berkontribusi besar
dalam membangun suatu peradaban bermartabat dengan menciptakan tatanan sosial
dan bangunan kebudayaan masyarakat yang berasal-usul dari
dasar-nilai-filosofis hakekat kebenaran alamiah dan universal.
Di dalam
tatanan sosial masyarakat sekian abad silam, kita mengetahui bahwa posisi
tertinggi dalam struktur sosial adalah Kaum Brahmana. Kaum Brahmana
adalah orang dengan kualitas pribadi yang sudah bisa mengatasi kecenderungannya
dengan segala hal yang bersifat duniawi. Kalau dalam Islam kualitas level dan
maqom jenis ini adalah para ulama yang ‘zuhud’, yaitu manusia yang
seluruh kesadaran hidupnya sudah memiliki ‘jarak rohani’ yang sangat
jauh dari materi. Masyarakat pada jaman itu sangat menghormati kualitas pribadi
semacam itu. Posisi sosial yang di tempati kaum Brahmana adalah posisi yang
paling tinggi. Jika struktul sosial terbangun berdasarkan prinsip nilai yang
memandang kualitas manusia berdasarkan parameter ruhaniah, maka itu berarti
secara otomatis akan membuat gerak kebudayaan manusia mengarah
kepada nilai-nilai yang bersifat batiniah, dengan kata lain, materi atau harta
tidak menjadi orientasi utama dalam skala prioritas hidup masyarakat. Semua
orang akan melangkahkan hati dan seluruh kesadaran hidupnya kepada nilai-nilai
yang dianggap dan diyakini bisa meninggikan derajat dan martabat hidupnya.Kondisi
seperti ini menjadi sejalan dengan sebuah pohon yang selalu bergerak
berdasarkan fitrah tradisi alam yaitu menuju dan mencari sumber cahaya.
Kalau dalam perspektif Fisika kita mengenal fase transformative dari
materi-energi- cahaya. Benda materi adalah padatan dengan derajat terendah
dalam siklus dan metabolisme transformasi alam. Dalam agama setiap benda atau
materi harus di ruhanikan, yaitu difungsi sosialkan menjadi kemanfaatan hidup.
Salah satu
kebutuhan dasar manusia dalam pergaulan sosial adalah keinginan untuk ‘dihormati’.
Jika parameter ‘keterhormatan’ seseorang adalah kualitas mental ‘zuhud’,
maka dorongan syahwat untuk meraih materi menjadi terukur dan terkontrol oleh
norma sosial. Masyarakat pada saat itu justru akan memandang keserakahan kepada
harta adalah sebuah kehinaan. Ini bisa terlihat dari struktur ‘kasta’
masyarakat dalam tatanan sosial yang menempatkan orang kaya pada posisi sudra,
yaitu posisi terendah.
Lain halnya
dengan kondisi masyarakat modern yang menyebut dirinya demokratis, egaliter dan
anti ‘kasta’, tetapi ‘diam-diam’ telah membalik tatanan hidup yang
sesuai dengan fitrah alam dengan menciptakan ‘kasta’ baru. Dalam ‘kasta’
masyarakat modern keterhormatan hidup dilambangkan dengan kekayaan.
Artinya orang yang paling banyak jumlah kekayaannya menempati posisi paling
tinggi dalam struktur masyarakat modern. Kondisi seperti ini secara otomatis
akan membuat manusia sangat bernafsu untuk mencari harta
sebanyak-banyaknya dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk ‘dihormati’ dalam
pergaulan sosial.Tidak satupun manusia yang tidak ingin ‘terhormat’
kehidupan sosialnya. Karena ‘keterhormatan’ dalam masyarakat modern disyarati
oleh kekayaan, maka semua manusia menjadi berlomba-lomba ingin mendapat
harta sebanyak-banyaknya. Apapun profesi seseorang, tujuan utama hidupnya
adalah ingin kaya. Pekerjaan tidak lagi dipandang dan dimaknai sebagai ‘pengabdian’
tetapi disikapi hanya sebagai jalan untuk mendapatkan harta. Bahkan
karena manusia gagal memaknai ‘bekerja‘ sebagai peristiwa ‘mengabdi’
, manusia menjadi tereduksi hanya sebagai mesin pencari uang. Degradasi moral
seperti ini telah membuat manusia hanya bersemangat untuk mendapat uang, tetapi
tidak memiliki daya juang untuk bekerja. Dari sinilah pembusukan
peradaban dimulai,karena hukum dan segala ‘tata krama’ sosial akan
diterobos oleh manusia yang sudah dikuasai oleh syahwat material.
Kambing
agar tidak ‘keluyuran’ memakan tanaman tetangga harus dibuatkan pagar.
Pagar bagi kambing adalah fungsi hukum bagi manusia. Hukum dibuat dalam rangka
memberi batas ‘benar dan salah’ atas perilaku manusia. Tatanan sosial
masyrakat modern yang menempatkan orang kaya dalam posisi paling dihormati
telah menyuburkan gairah syahwat manusia untuk ‘mati-matian’ mengejar
dan mendapatkan harta. Batas-batas yang disepekati sebagai hukum agar martabat
dan keberadaban kehidupan terjaga dan terkawal, menjadi tidak
dipedulikan. Jika Hukum sebagai batas terakhir yang memagari perilaku manusia
agar tidak menyimpang dari kaidah benar dan salah sudah ‘kewalahan’,
maka peradaban manusia sudah diambang batas keruntuhan. Artinya manusia menjadi
berderajat lebih rendah dari binatang. Kondisi ini akan menjadi lebih parah
jika aparat hukum sendiri tidak memiliki komitmen untuk menegakan hukum.
Di tengah
peradaban materialisme, dimana jalan utama sejarah kebudayaan manusia
kehilangan panduan batin dan nilai-nilai ruhani, institusi hukum menjadi sangat
diharapkan peran kesejarahanya dalam menyelamatkan martabat dan kemuliaan
sebuah peradaban. Ketika mental masyarakat terbonsai sedemikian rupa oleh
tatanan sosial yang terstruktur berdasarkan parameter kebendaan, sangat
mustahil rambu-rambu kultural berupa norma dan nilai-nilai yang bersifat
cair akan bisa membendung ‘luapan air bah syahwat materialistic dan
hedonistik’ masyarakat. Harus ada aturan formal dan padat berupa
pasal-pasal hukum yang benar-benar ditegakan.
Ancaman
sangsi keras dan tegas sebagai efek jera bagi siapa saja pelaku korupsi
tampaknya menjadi ‘pembendung’ terakhir untuk segala bentuk
kecenderungan menyimpang. Jaksa, Hakim, Polisi harus benar-benar
menyadari bahwa tugas mulia mereka adalah menjadi tiang penyangga
tegaknya sebuah peradaban. Jika aparat hukum kehilangan ketahanan mental
sehingga tembok moral mereka bisa ditembus oleh praktek-praktek suap, itu
berarti harga hukum telah direndahkan menjadi sebatas harga ‘kacang rebus’,
maka cepat atau lambat kebudayaan manusia sedang bergerak kedasar jurang
sejarah melampaui kerendahan binatang.
Tetapi
menyerahkan tugas penyelamatan peradaban hanya kepada institusi hukum tentu
menjadi tidak adil, tanpa ada upaya – upaya moral kebudayaan secara
simultan dari setiap komponen sejarah. Karena tembok setebal apapun jika
diterjang banjir bandang bertubi-tubi pasti akan runtuh. Gerakan untuk
membalik kembali tata sosial dengan struktur yang sehat seirama dengan ‘jalan
alam’, sebagaimana yang pernah dibangun oleh leluhur kita adalah jalan
efektif untuk menciptakan situasi kondusif bagi lahirnya peradaban yang
bermartabat. Ini harus dimulai dengan ‘suri teladan’ hidup sederhana
dari para pemimpin. Ketika parameter terhormat atau tidak terhormat
bukan lagi dipandang dari jumlah harta yang dimiliki, luapan air bah syahwat
ingin kaya menjadi reda. Peringatan hari anti korupsi sedunia tahun ini
bisa kita jadikan ‘momentum’ pemantik kebangkitan dan penyadaran akan
pentingnya menyelamatkan peradaban manusia. Harus ada upaya kreatif dan
sungguh – sungguh untuk pelan-pelan meredefinisi arti hidup sukses.
Selama ini sukses dipahami secara masal oleh manusia modern sebagai banyak
harta. Padahal berabad-abad leluhur kita hidup dengan ilmu dan pengetahuan
mengenai sukses sebagai manusia adalah ketika kita memiliki produk moral sosial
yang maslahat dan jumbuh dengan ‘kresaning Gusti’.
SOKAWERA,
26 NOV 2014
*Dibacakan
saat Orasi Budaya dalam rangka Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di
Kejaksaan Negeri Purbalingga dihadapan Muspida kabupaten Purbalingga, tanggal 9
Desember 2014.
Oleh Agus
Sukoco • 15 Desember 2014 Dipublikasikan dengan tag Esai