Oleh Helmi
Mustofa
Dikisahkan,
warga masyarakat Karang Kedempel resah dan sedih karena menghilangnya Kiai
Semar. Padahal perannya sangat dibutuhkan saat itu. Masalah-masalah yang kian
runyam menunggu turun tangannya. Kiai Semar kemanakah engkau pergi? Ke manakah
engkau bersembunyi? Lurah dan seluruh perangkatnya tak lagi sanggup menjalankan
fungsinya sebagai petugas penyejahtera rakyat. Malahan sebaliknya, dengan
pelbagai cara dan manipulasi.
Para
Punakawan lainnya — Gareng, Petruk, dan Gareng, jadi ramai berdebat,
merefleksi, dan mencari. Di antara menghilangnya Semar dan tertindasnya warga
Karang Kedempel, berlangsung berlapis-lapis pemikiran dan pergulatan. Di tengah
ketertindasan, represi politik, pembungkaman suara, dan penjajahan oleh asing,
bergema pertanyaan mengapa Semar pergi sementara rakyat Karang Kedempel tak
berdaya. Hakikat politik, kedaulatan rakyat, sejatinya kekuasaan, semuanya
dipertanyakan kembali.
Sampailah
mereka pada suatu kesimpulan: perlunya Carangan: “Carangan ialah mengubah
pakem. Menggesernya, merombaknya, atau bahkan menggantikannya sama sekali.
Suatu sistem pakem yang menyejahterakan sebagian orang dengan cara
menyengsarakan sebaguian besar lainnya, tak bisa diteruskan. Kaum Punakawan,
sebagai agen dari Budaya Carangan — yang mencoba menyelusupkan paham-paham baru
yang membebaskan — dalam kisah keniscayaan tragis Mahabharata, menunjukkan
bahwa masyarakat Karang Kedempel sebenarnya melontarkan kehendak pembebasan
secara autentik.” (203).
***
Zaman terus
berjalan, melangkah, dan berubah. Novel-esai berjudul “Arus Bawah” ini dulu, 20
tahun silam, telah terbit menjumpai pembaca. Menggedor kesadaran orang-orang,
yang hidup tapi tak selalu berdaya dalam kepungan kekuasaan Orde Baru.
Menyusupkan dan menyebarkan virus budaya carangan, di atas berlangsungnya
mainstream kekuasaan dan politik kala itu, yang baku, pakem, dan hendak
dilanggengkan.
Arus Bawah
Judul Buku
: Arus Bawah
Penulis :
Emha Ainun Nadjib
Penerbit :
Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan :
Pertama, Februari 2015
Tebal :
viii+238 halaman
Kini, di
awal tahun 2015, novel-esai yang mengajak kita lebih dekat dengan kehidupan
negeri karang Kedempel ini hadir kembali. Dan sejatinya, juga mewartakan hal
yang sama; Kiai Semar telah menghilang. Ya, Kiai Semar pergi entah ke mana.
Padahal penduduk Karang Kedempel kontemporer ini sesungguhnya sedang
membutuhkan kehadirannya.
Mungkin lebih dari yang dulu. Karang Kedempel yang
sekarang ini dikuasai oleh politik tipu daya pencitraan, pemerintahan yang
terbelah dan penuh sandiwara, kamuflase demokrasi, maraknya aliran-aliran
penyempitan berpikir, riuh rendahnya ocehan dan hujatan di media sosial, aneka
tingkah polah nyelfie, dan lebay-nya gaya hidup, amat sangat memerlukan
kembalinya Kiai Semar. Sekurang-kurangnya para Punakawan lainnya, bisa
segera menggulirkan gerakan carangan baru