JUDUL
ini harus dikasih tanda petik di awal dan akhir, karena sesungguhnya itu
istilah ngawur dari sudut apapun kecuali dari sisi iktikad baik tentang cinta
kemanusiaan.
Islam
bukan kostum drama, sinetron atau tayangan-tayangan teve Ramadhan. Islam itu
substansi nilai, juga metodologi. Ia bisa memiliki kesamaan atau perjumpaan
dengan berbagai macam substansi nilai dan metodologi lain, baik yang berasal
dari “agama” lain, dari ilmu-ilmu sosial modern atau khasanah tradisi. Namun
sebagai sebuah keseluruhan entitas, Islam hanya sama dengan Islam.
Bahkan
Islam tidak sama dengan tafsir Islam. Tidak sama dengan pandangan pemeluknya
yang berbagai-bagai tentang Islam. Islam tidak sama dengan Sunni, Syi’i,
Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir dan apapun saja aplikasi atas tafsir terhadap
Islam. Islam yang sebenar-benarnya Islam adalah dan hanyalah Islam yang
sejatinya dimaksudkan oleh Allah.
Semua
pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati
sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis
untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu.
Kalau ada teman melakukan perjuangan “islamisasi”, “dakwah Islam”, “syiar
Islam”, bahkan perintisan pembentukan “Negara Islam Indonesia” — yang
sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.
Dan
Islamnya si A si B si C tidak bisa diklaim sebagai sama dengan Islamnya Allah
sejatinya Islam. Demikianlah memang hakikat penciptaan Allah atas kehidupan.
Sehingga Islam bertamu ke rumahmu tidak untuk memaksamu menerimanya. La ikraha fid-din. Tak
ada paksaan dalam Agama, juga tak ada paksaan dalam menafsirkannya. Tafsir
populer atas Islam bahkan bisa menggejala sampai ke tingkat pelecehan atas
Islam itu sendiri.
Islam
bisa hanya disobek-sobek, diambil salah satu sobekannya yang menarik bagi
seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Islam bisa diperlakukan
hanya dengan diambil salah satu unsurnya, demi mengamankan psikologi subyektif
seseorang sesudah hidupnya ia penuhi dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap
Islam.
Islam
bisa hanya diambil sebagai ikon untuk mengkamuflase kekufuran, kemunafikan,
kemalasan pengabdian, korupsi atau keculasan. Islam bisa dipakai untuk menipu
diri, diambil satu faktor pragmatisnya saja: yang penting saya sudah tampak
tidak kafir, sudah merasa diri bergabung dengan training shalat, sudah
kelihatan di mata orang lain bahwa saya bagian dari orang yang mencari sorga,
berdzikir, ingat keserakahan diri dan keserakahan itu bisa dihapus dengan
beberapa titik air mata di tengah ribuan jamaah yang berpakaian putih-putih
bagaikan pasukan Malaikat Jibril.
Sedemikian
rupa sehingga kita selenggarakan dan lakukan berbagai formula dunia modern,
industri liberal, mode
show, pembuatan film, diskusi pengajian, yang penting dikasih
kostum Islam. Tentu saja tidak usah kita teruskan sampai tingkat
menyelenggarakan tayangan “Gosip Islami”, “Lokalisasi Pelacuran Islami”,
“Peragaan Busana Renang Wanita Muslimah” atau pertandingan volley ball wanita
Muslimah berkostum mukena putih-putih. Sampai kemudian dengan tolol dan
ahistoris kita resmikan salah satu hari ganjil di tengah sepuluh hari terakhir
Ramadhan sebagai Hari Valentine Islami….
Tapi
sesungguhnya saya serius dengan makna Hari Kasih Sayang Islam versi Rasulullah
Muhammad SAW. Fathu
Makkah, yang diabadikan dalam Al Qur’an sebagai Fathan
Mubina, kemenangan yang nyata, terjadi pada Bulan Ramadhan, tepatnya pada
tanggal 10 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah. Pasukan Islam dari Madinah merebut
kembali kota Makkah. Diizinkan Allah memperoleh kemenangan besar. Ribuan
tawanan musuh diberi amnesti massal….
Rasulullah
berpidato kepada ribuan tawanan perang: “…hadza
laisa yaumil malhamah, walakinna hadza yaumul marhamah, wa antumut thulaqa….”.
Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari
kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian
masing-masing. Pasukan Islam mendengar pidato itu merasa shock juga. Berjuang
hidup mati, diperhinakan, dilecehkan sekian lama, ketika kemenangan sudah di
genggaman: malah musuh dibebaskan. Itu pun belum cukup. Rasulullah
memerintahkan pampasan perang, berbagai harta benda dan ribuan onta, dibagikan
kepada para tawanan.
Sementara
pasukan Islam tidak memperoleh apa-apa. Sehingga mengeluh dan memproteslah
sebagian pasukan Islam kepada Rasulullah. Mereka dikumpulkan dan Muhammad SAW
bertanya: “Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku?” Mereka menjawab:
sekian tahun, sekian tahun…. “Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut
hati kalian aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?”
Tentu
saja sangat mencintai. Rasulullah mengakhiri pertanyaannya: “Kalian memilih
mendapatkan onta ataukah memilih cintaku kepada kalian?” Menangislah mereka
karena cinta Rasulullah kepada mereka tidak bisa dibandingkan bahkan dengan
bumi dan langit. Tentu saja, andai kita berada di situ sebagai bagian dari
pasukan Islam, kelihatannya kita menjawab agak berbeda: “Sudah pasti kami
memilih cinta Rasulullah, tapi kalau boleh mbok
ya juga diberi onta dan emas barang segram dua gram…?”