Latest Updates

Memilih Presiden

sumber gambar
Kalau kita makan, kita punya kekuasaan terhadap yang kita makan. Kalau kita memilih makan nasi uduk, itu kita perhitungkan kita membelinya di suatu warung yang kita mampu mengontrolnya. Kalau nasinya ada krikilnya kita protes, dan kita punya pengetahuan apakah nasi ini beracun atau tidak, basi atau tidak. 
Setiap pilihan resikonya adalah harus disertai kesanggupan untuk mengontrol sesuatu yang kita pilih. Di situlah kelemahan kita sebagai bangsa Indonesia. Kita harus memilih pemimpin tanpa sedikit pun ada kesanggupan untuk mengontrol pemimpin yang kita pilih itu.
Bahkan lebih dari itu, bukan hanya tidak sanggup mengontrol, kita bahkan tidak punya pengetahuan yang mencukupi sama sekali mengenai sesuatu yang kita pilih. Kita tidak tahu sebenarnya caleg ini kualitasnya bagaimana, hidupnya bagaimana, istrinya berapa, akhlaknya bagaimana, kita tidak tahu sama sekali. Bahkan tokoh-tokoh terkenal pun rakyat tidak tahu. Bapak ini, Gus itu, orang nggak tahu sebenarnya. Dan kalau pun mereka tahu, mereka tak punya daya kontrol terhadap yang dipilihnya ini, tapi mau tak mau harus memilih. Ini saya kira dilema kita bersama se-Indonesia.
Jadi, sederhana saja sebenarnya. Kalau anakmu naik kapal merantau ke luar pulau, maka selama naik kapal akan ada kemungkinan ada badai, ada kemungkinan dibunuh orang, ada kemungkinan dia bertengkar dengan orang, ada kemungkinan dia di ancam bahaya. Kepada siapakah Engkau menyerahkan anakmu yang Engkau tak bisa mengontrolnya di perjalanan, kepada siapa? Kamu titipkan pak Camat? Kamu titipkan nahkoda? Tidak ada jalan lain kecuali Engkau titipkan pada Allah SWT. Kalau yang kau pilih di pemilu nanti kau tidak tahu siapa dia, kamu tidak bisa mengontrol dia, kenapa tidak kau serahkan pada Tuhan? Jadi serahkan pada Tuhan.
Kalau dalam Islam sederhana. Kalau misal anda tidak memilih, kalau nanti anda berdoa supaya bangsa kita sejahtera nanti Tuhan mengejek juga “Lha kamu nggak milih aja kok minta bangsamu sejahtera”. Tapi kalau memilih bingung juga mau memilih yang mana, sedangkan kalau memilih tidak bisa mengontrol juga. Ya kalau begitu serahkan pada Tuhan.
Kalau dalam Islam caranya jelas. Jadi malamnya shalat dulu kek, kalau nggak sempat ya dalam hati saja berdoa, “Ya Tuhan, gimana mosok saya nggak nyoblos, saya kan warga negara. Saya pilih lah yang kira-kira paling bagus. Cuma kan saya ndak bisa mengontrol dia, Tuhan. Jadi, tolong dong, ini saya pilih satu. Setelah saya pilih dan coblos, saya serahkan kepada-Mu. Kalau dia pemimpin yang baik, panjangkan umurnya. Beri dia kekuatan, dan bantulah urusan-urusannya. Tapi kalau yang aku pilih ini ternyata pengkhianat, penjilat, penindas rakyat dan sama sekali tidak punya cinta kepada kami-kami yang di bawah ini,mbok dilaknat dengan cepat, mbok cepat-cepat diberi tindakan, Tuhan. Terlalu lama lho kami rakyat Indonesia kayak gini terus bingung nggak habis-habis. Terus kepada siapa dong aku mengeluh? Kepada siapa dong rakyat Indonesia mengeluh? Kepada DPR? Wong mereka itu yang justru kami keluhkan kepada-Mu ya Allah. Jadi tolong, Tuhan….”
Bisa juga ditambahi ayat-ayat. Sebelum masuk kotak atau bilik bilang di dalam hati, begitu mau mencoblos baca “Wa makaruu wa makarallah wa-llahu khoirul maakirin”. Kalau mereka makar pada nilai-nilai Allah dan nilai rakyat, maka Allah akan makar pada mereka. Dan yang paling jagoan untuk makar adalah Allah. Kalau mereka khianat pada rakyat, berarti mereka khianat pada Tuhan. Maka Tuhan juga akan makar pada mereka. Wa-llahu khoirul maakirin. Jejak bumi tiga kali, baru dicoblos. Nanti kalau dia khianat, dia sakit kudis.
Dokumentasi Progress

“Asupan Gizi” Cak Nun buat Timnas U-19

“Asupan Gizi” Cak Nun buat Timnas U-19
Sebuah peristiwa sederhana tapi penting bagi masa depan Indonesia semalam, Selasa 25 Maret 2014, berlangsung di Hotel UNY Karangmalang Yogyakarta. Pelatih Indra Syafri dan skuad Timnas U-19 berkesempatan berdialog dengan Cak Nun. Dalam konteks keindonesiaan, Cak Nun adalah sosok yang sedari dulu dan hingga kini tetap konsisten mengerjakan kesadaran akan kebesaran dan kebangkitan bangsa Indonesia melalui pelbagai forum kerakyatan maupun melalui formula-formula problem solving yang ditempuhnya ketika diminta bantuannya dalam memecahkan persoalan-pesoalan riil yang berlangsung di masyarakat, seperti yang belakangan dilakukannya dalam mendamaikan konflik sosial terkait petambak Plasma di Tulangbawang Lampung. Sementara itu, di tengah keluhan akan kikisnya nasionalisme Indonesia belakangan ini, serta di tengah karut marut dan minimnya prestasi sepak bola Indonesia, Timnas U-19 besutan Indra Syafri memberi harapan baru bagi kebangkitan Indonesia melalui sepakbola.
Coach Indra Syafri sendiri sudah lama berharap dapat bertemu Cak Nun agar berkenan memberikan motivasi bagi Evan Dimas dan kawan-kawan. Maka usai ramah tamah yang juga dihadiri Ketua Umum PSSI DJohar Arifin itu, Cak Nun diminta menyampaikan motivasi bagi skuad Timnas U-19 yang baru saja selesai melakoni Tur Nusantara ini. Bagi Cak Nun sendiri sepakbola bukan hal yang asing dan sudah menjadi bagian dari pengalaman hidupnya. Saat usia belasan tahun, ia sudah menjadi pemain “bon-bonan” di beberapa persatuan sepakbola di Jombang. Ketika produktif sebagai kolumnis di media massa, salah satu yang langganan diulasnya adalah sepakbola, yaitu ketika berlangsung Piala Dunia atau Piala Eropa di mana ulasan liar ala Cak Nun ini sangat ditunggu-tunggu pecinta sepakbola di Indonesia.
Cak Nun bersama Timnas U19. Foto 2.
Kepada pasukan timnas U-19 ini, Cak Nun menyampaikan kepada mereka bahwa ada lima kemenangan yang dijanjikan kepada mereka. Tiga di antaranya adalah kemenangan secara pengalaman karena mendapat tempaan dari pelatih dan manajemen; kemenangan karena menjadi manusia terpilih dari ribuan putra daerah yang ikut seleksi; dan kemenangan perbaikan nasib dan rizki seluruh keluarga karena hasil baktinya kepada negara. Merespons suntikan motivasi dari Cak Nun ini, Coach Indra Syafri sangat antusias bahkan beberapa kali mencoba meminta anak-anak asuhnya untuk menuturkan pengalaman keberhasilan yang sejauh ini sudah diraih termasuk ketika berhasil mencetak gol, tetapi dengan rendah hati dan agak malu-malu mereka menjawab bahwa itu adalah kerja tim dan bukan kerja perseorangan.
Coach Indra Syafri juga menceritakan bahwa anak-anak Timnas U-19 ini akan menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci, dan untuk ini Cak Nun berpesan agar ketika sudah tiba di sana dan mulai mengenakan pakaian ikhrom agar diawali dengan shalat dua rakaat terlebih dahulu baru kemudian memulai prosesi umrohnya. Kemudian ketika tiba saatnya thawaf agar sesudahnya menyempatkan diri naik dan shalat, dan selanjutnya mengambil al-Quran, memejamkan mata, baca bismillah, lalu buka al-Quran-nya. Setelah membuka mata, catatlah surat dan ayat apa yang terbuka, dan simpanlah. Ketika tiba di tanah air, carilah tafsirnya, InsyaAllah di situlah terletak kunci hidup masing-masing person. Hal ini pulalah yang dulu dilakukan Cak Nun ketika ibadah umroh di Tanah Suci dan selalu surat al-Kahfi yang didapatnya ketika membuka al-Quran di pelbagai tempat di sana. Bahkan jika memungkinkan, Cak Nun berpesan kepada mereka agar sepulang umrah dapat berkumpul lagi seperti pertemuan malam itu untuk bersama-sama mengulas apa yang mereka dapatkan dari umroh tersebut.
Cak Nun bersama Timnas U19. Foto 1.
Malam itu Cak Nun datang ke hotel UNY bersama Ibu Novia Kolopaking, Sabrang “Noe Letto”, dan kedua putranya yaitu Jembar dan Rampak. Dalam dialog yang penuh suasana kekeluargaan itu, tercetus gagasan bahwa lagu “Hati Garuda” karya Noe Letto akan menjadi salah satu lagu wajib yang didengarkan ketika Timnas bergerak dari hotel menuju stadion selain lagu yang diciptakan suporter setia Timnas berjudul “Satu Jiwa” dan juga tentunya lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.
Dalam dialog itu pula, salah satu tim pelatih menanyakan lebih jauh saran Cak Nun agar anak-anak Timnas selalu konsentrasi dan fokus yakni fokus untuk apa dan seperti apa, Cak Nun menceritakan bagaimana dirinya banyak dijegal dan dikecewakan oleh Indonesia, tetapi Cak Nun tetap fokus dengan membalasnya dengan ilmu dan cinta kepada Indonesia dan masyarakat. “Jadi sesinis apapun tanggapan persatuan-persatuan sepakbola lain yang “iri” dengan keberadaan dan kesuksesan sepak terjang Timnas U-19 sejauh ini, tetaplah menendang bola dan jadi juara.” Itulah sejumput jalan sunyi yang ditularkan Cak Nun kepada Timnas U-19 dalam pertemuan sederhana malam itu di tengah hiruk pikuk politik Indonesia yang lebih banyak diwarnai hasrat akan kuasa dan kekuasaan dan bukannya kehendak bersama membangun sejatinya politik yang bermartabat.(Helmi M/Red Progress)

Cak Nun SemNas Jati Diri Bangsa UIN Maliki Malang,16 Maret 2014

Berkut video Cak Nun pada acara SemNas Jati Diri Bangsa UIN Maliki Malang,16 Maret 2014.



Hal Tajdid: Dari Bedug sampai Anjing

Seorang Muballigh muda Muhammadiyah pernah datang ke desaku untuk tampil secara mengagumkan dan mempesona dalam suatu pengajian. Dengan nada keras, penuh semangat dan kefasihan, ia menyodorkan kejutan-kejutan.

Diuraikan tentang keharusan membawa kembali Islam seperti aslinya ajaran Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Khurafat, tahayul, bid’ah, musti dibuang jauh-jauh. Dan lagi, memeluk agama itu mustilah dengan menggunakan akal, tak asal taqlid membabi buta saja, sebab akallah yang membedakan kita dari segenap binatang.



Pasal pertama yang dibenahi ialah arah menghadap ketika salat. Bikinlah garis shaf dalam masjid kira-kira 24 derajat condong ke utara, agar kita salat menghadap ke Ka’bah, bukan ke negeri Somalia. Kemudian soal bedug: untuk apa itu? “Sekarang ini setiap hidung punya jam”, katanya. Lantas, soal puji-pujian musikal antara adzan dan iqomah. Lantas soal koor wirid sehabis salat jamaah. Kemudian sekian hal lagi yang menyangkut perilaku keagamaan sehari-hari.

sumber gambar
Terkejutlah sekalian penduduk desa, dan merasa begitu kotor karena ternyata selama ini melakukan hal-hal yang mungkin tak diridhai Allah. Memang, tajdid pasal pertama Muballigh kita ini, tidak ilmiah; ia tak bawa kompas, sehingga tak tahu bahwa posisi desaku memang sudah persis terarah agak miring ke utara, jadi persis menghadap Ka’bah, juga masjidnya. Ini tentulah kekhilafan kecil: Muballigh kita terlalu bergantung pada common-sense, lupa pada keperluan “formal-survey” yang ilmiah.

Namun percayalah, bahwa kata-kata “ilmiah” atau “rasional” merupakan “bayang-bayang baur” di benak orang-orang desaku, sehingga kegagalan pasal pertama itu tak berarti gagalnya usaha tajdid yang ia lakukan. Sejak itu, perlahan-lahan bedug dicopot, dipakai kayu bakar dan kulitnya dimasak. Puji-pujian stop dan koor wirid lenyap. Orang-orang tua berwirid sendiri-sendiri, sementara anak-anak muda dan anak-anak kecil menyelenggarakan tradisi lamcing: habis salam, plencing pergi.

Tak Bisa Berpicing Mata
Sayang sekali Muballigh kita itu cukup sekali saja datang ke desa untuk membawa “SK Tajdid” dari Pusat itu. Hampir tak ada proses internalisasi lebih lanjut yang melibatkan para penduduk perihal pemurnian Islam, menggasak bid’ah, khurafat, tahayul dan seterusnya, dalam arti suatu internalisasi di mana mereka diajak untuk aktif rasional.

Apa yang kemudian terjadi, adalah situasi “yaskhor qoumun min qoumin” dalam suatu iklim yang “politis”. Pertarungan bendera antara Muhammadiyah dengan NU berlangsung dengan lucu, naif, jumud dan memalukan, sehingga biarlah terkubur di gundukan-gundukan tanah masa silam. Yang mungkin agak kurang menyedihkan untuk dikisahkan ialah terjadinya “reuni” sekian tahun kemudian. Karena sakit oleh berbagai kebodohan bersama, tak krasan oleh banyak retak-sosial yang begitu kampungan dan menyangkut hal-hal amat sepele, maka bendera-bendera itu pun diturunkan. Sampai kini, penduduk desaku hidup dalam Islam yang tanpa embel-embel lain: meskipun tetap selalu ada beda faham di sana-sini, tapi tak sampai terjebak oleh formalisme-formalisme aliran, yang bukannya salah, tetapi penduduk desaku belum siap meng-hadapi “keorganisasian madzhab” yang ketika sampai di desa telah tinggal kerangka.

Kabarnya, hantu kerangka itu muncul; karena mekanisme tajdid yang dibawa oleh organisasi-organisasi pembaharu itu kurang diterapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis-kultural masyarakat yang berbeda-beda. Faktor itu yang menunjukkan kepada kita bagaimana persuasi yang diperlukan untuk mereduksi sesuatu hal dari lingkaran tradisi suatu komunitas; bahkan seberapa benar sesuatu itu perlu direduksi atau tidak. Sebab, untuk menilai terjadi tidaknya bid’ah atau tahayul umpamanya, kita tak bisa menilainya dengan berpicing mata. Apalagi kita tahu persis bahwa proses internalisasi keagamaan dalam masyarakat tradisional seperti di desaku, mengandung susunan-susunan saling berkait antara berbagai unsur kompleks dalam hidup mereka. Kita harus menatapnya dengan jeli, agar tak terjebak oleh term berpikir yang sering kita anggap ilmiah: membedakan sisi kehidupan agama dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Padahal, agama bukanlah sektor, melainkan pedoman nilai dari Allah yang memberi watak, sifat dan arah tujuan semua kegiatan hidup kita, ya politik, ya ekonomi, ya sosial budaya.

Kerangka di atas juga muncul, disebabkan karena dalam tubuh suatu organisasi, biasanya ada berlaku hukum pelunturan nilai. Artinya ada distorsi kualitatif yang terjadi antara pucuk dengan lapisan atau sendi-sendi di bawahnya. Hal ini merupakan akibat yang khas dari aksentuasi sikap kita untuk menjadi “tabi’iin” atau “taabi’it-taabi’iin” belaka dan kurang mengaktivisir keharusan-keharusan lain, umpamanya untuk biasa berpikir sendiri, menimbang-nimbang sendiri dan seterusnya dalam menginternalisasi Islam. Ada begitu banyak afalaa ta’qiluun, afalaa fatadabbaruun, afalaa tatafakkaruun, namun ma’rifat kita belum terbuka benar. Bukan terutama karena Allah belum berkenan membukanya, tapi kita umumnya memang kurang berminat sungguh-sungguh untuk membuka mata. Walaqad yassarnal Qur’ana lidz-dzkri fa hal min-muddakir…. — Oleh sebab itu, kita tak boleh terkejut apabila menjumpai tak sedikit “agents of innovation” dari suatu organisasi pembaharu ternyata juga hanya penganut-penganut, yang meskipun tak buta betul, tapi setidaknya tiga perempat buta. Kalau kita mau jujur dan rendah hati: dalam kondisi seperti itu tak mustahil di tengah percaturan pemikiran tajdid, kita terjebak oleh suatu isyarat Allah yang secara verbal sesungguhnya dimaksudkan untuk orang-orang kafir: innalladzina yujaadiluuna fii aayaatillaahi bighairi sulfhaanin ataahum in fii shuduurihim illaa kibrun maa humbibaalighiihi…. Sebab, kita mafhum ayat Allah bukan hanya yang tertera verbal dalam AI-Qur’an — “sanuriyahum aayaatina fil aafaaqi wa fii anfusihim….” — benarkah tak mungkin kita termasuk dalam golongan orang yang dimaksud oleh Allah itu? Misalnya, karena tanpa kita sadari, bahwa kita telah terlibat dalam suatu kufuran intelektual, tertentu? Yang jelas, kita mesti siap untuk suatu hari menyaksikan kenyataan bahwa yang perlu ditajdid itulah yang jadid, dan ternyata yang mujaddid itulah justru perlu ditajdid.

Semoga, hal ini tidak terjadi, namun, baiklah kita berwaspada, sebab segala sesuatu bisa masuk ke dalam diri kita, juga setan dan pengaruh-pengaruh apa pun.

Di desaku pun sangat mungkin terjadi hal semacam itu. Atau barangkali kita sekaligus mengandung kedua-duanya: yakni hal yang perlu ditajdid serta hal yang mendorong kita untuk melakukan tajdid. Jadi agaknya masyarakat pertama yang mesti ditajdid ialah diri kita sendiri, sementara semangat tajdid juga pertama-tama mesti diri kita sendiri yang memiliki.

Kiai Beli Anjing
Ada satu tajdid yang lucu di desaku, yang menyadarkanku bahwa ternyata kekentalan hubunganku dengan penduduk desa masih amat kurang . Tersebutlah seorang Kiai yang haus akan tajdid, sehingga selalu sibuklah ia mengembarai berbagai lapangan faham Islam. Sayang sekali, landasan kehausan tajdidnya bukan suatu sikap mandiri yang mementingkan penggunaan akal sehat dan kebersihan hati serta keluasan wawasan. Dalam pengembaraanya itu, ia selalu hanya terseret-seret belaka oleh satu faham ke faham lain. Begitu terjadi berulang-ulang, dan hasil pengembaraannya itu biasanya langsung diungkapkan lewat khutbah-khutbah Jumat atau pada kuliah subuh — kesempatan satu-satunya ia bersedia bertatap muka dengan khalayak.

Pertama menjadi bingunglah para jamaah karena diombang-ambingkan. Tapi lama kelamaan hal itu menjadi komedi. Orang jadi “hapal” lagak lagu sang Kiai dan tak begitu gampang terpengaruh. Menjelang salat Jumat, bahkan orang-orang saling bercengkerama dan meramal apa kira-kira yang akan diomongkan oleh sang Kiai. Hal yang digasak adalah hal yang biasanya kemarin didukung. Apa yang hari ini di gembar-gemborkan, bulan depan mungkin akan digasaknya kembali. Dari satu sudut: itulah potret dari semangat pembaharuan yang dinamik, penuh gelombang dan kontinyu. Tapi dari sisi lain, itulah gambaran dari sebuah pribadi yang mengembara di atas udara, tanpa pijakan, tanpa akar dan tanpa aktivitas akal sehat dan kematangan kejiwaan.

Memang jamaah tak begitu terpengaruh, tapi untuk hal-hal yang menyangkut “gengsi modern”, orang desa amat gampang terseret. Merangsang mereka untuk mengkonsumsi “identitas-identitas kemodernan”, semudah makan kacang bakar. Jadi ketika berkat suatu usaha tajdid, sang Kiai membeli dan memelihara anjing, maka segera inovasi ini diikuti oleh puluhan orang. Hari ini di satu jalur jalan saja ada kira-kira 40 anjing. Memelihara anjing itu betul-betul kenikmatan baru: “Kayak yang di tv!” Ini suatu ironi besar, karena dulu penduduk desa adalah pembenci, bahkan pembunuh anjing. Ada seekor saja nongol di desa, mampuslah ia.

Aku sendiri belum memberi tanggapan cukup jauh terhadap hal ini, karena harus ditemukan persuasi yang tepat untuk membereskan sesuatu di desa. Aku tidak anti anjing, tapi ada konteks yang tak beres dengan tajdid peternakan anjing itu.

Suatu hari, aku mengobrol saja dengan salah seorang penduduk. Hakim paling kuat untuk Muslim desaku ini ialah ukuran halal-haram. “Kata Pak Kiai memelihara anjing itu tidak haram,” ungkapnya. Jadi itulah sumbernya.

Kucoba kemukakan kepadanya: memelihara anak yatim itu bukan hanya tak haram, bahkan penuh pahala dan keluhuran. Padahal biayanya tak lebih mahal dari memelihara seekor anjing, sementara seorang anak yatim bisa memberi kita manfaat dan kekayaan spiritual yang tak bisa kita peroleh dari buih mulut anjing. Memelihara anjing memang boleh-boleh saja, seperti juga kita boleh siang hari bolong merangkak dari gardu sini sampai ke depan rumah Pak Lurah di ujung sana. Tapi, agama bukan sekedar soal boleh dan tak boleh. Halal-haram itu garis batas, yang tidak kita injak atau harus kita hindari. Seperti main sepakbola, ada garis pinggir, ada garis untuk penalty dan offside, juga tangan kita termasuk “daerah haram” untuk bola.

Tapi, masalah sepakbola yang paling utama ialah bagaimana bermain bola secara baik, bukan bagaimana tak memegang bola atau berlari menginjak garis  pinggir. Garis batas itu menjadi wilayah permainan kita, namun yang penting ialah bagaimana mengolah suatu permainan yang baik. Engkau tidak diharamkan main sepak bola sambil pakai peci atau sambil makan ketela, tetapi kita punya akal yang mengukur manfaat dan mudharat. Untuk itu, maka kita bermain pakai celana pendek dan bukan sarung. Memahami mana garis batas dan liku-liku peraturan main bola tidak sukar, dan yang terutama kita usahakan bagaimana mentalitas bermain, bagaimana teknik dribbling pribadi serta metode kerjasama sosial, bagaimana menemukan “taqarrub” terhadap gawang secara baik sehingga kita menang dan gol kita ciptakan dengan menggetarkan jaring-jaring surga. Itulah sepakbola hidup.

la kemudian mengemukakan anjing itu nanti bisa dijual kembali dengan harga yang lebih mahal. Jadi pertimbangan ekonomi. Maka kuingatkan bahwa kita dulu punya tradisi ternak kambing — kerbau — sapi. Sekarang ini, kambing atau sapi lebih menguntungkan dibanding anjing. Dan lagi, apakah penduduk desa kita ini akan menjadi pendorong pertumbuhan manusia-manusia pemakan anjing? Baiklah teruskan dan kelak orang di sana berkata: Di mana cari anjing untuk pesta kita? O, di Mentoro pusatnya!

Tapi ia kemudian mengemukakan soal segi keamanan. Anjing cepat memberitahu kita kalau ada pencuri. Apakah engkau melatihnya untuk itu? Tidak. Dan orang-orang lain? Tidak juga. Kukemukakan kepadanya bahwa seorang Muslim yang Islamnya baik Insya Allah terhindar dari bahaya seperti itu. Setiap saat, nafas dan detak darah kita bisa kita biasakan memohon kepada Allah, “Bismillahi laa yadhurru ma asmihii syaiun fil-ardhi walaa fissamaa-i wahuwassamii ‘ul-‘aliim.” Tirulah Ayyub yang berkata, “Innii masanidha-dhurru wa-anta arhamur-roohimiin”. Semoga Allah pun berkehendak fastajabnaa lahuu, fakasyafnaa maa bihii mindhurrin. Atau, kenapa tak kita lingkari lingkungan hidup kita dengan ayat Kursi atau banyak sekali ayat lainnya? Kita sudah baca shalawat untuk Nabi tiap hari, bukan? Nah, kita perbanyak jumlahnya dan kita perdalam kekhusyukannya. Semoga Nabi pun mengirim salam kepada kita karena beliau adalah “….rasuulunmin-anfusikum aziizun ‘alaihi ‘anittum hariitsun ‘alaikum bilmu’miniina ra’uufur-rahiim….” Atau dengan begitu banyak lainnya Ayatullah yang maha sakti, yang apabila ia dibacakan maka “….suyyiratbihil-jibaalu au quthi’atbihil-ardhu au kullima bihilmautaa….”

Tidak percayakah Saudaraku akan kesaktian mukjizat AI-Our’an? la tidak hanya sakti segi kesastraannya saja, tapi juga sakti dan maha benar segala dimensinya. la adalah karya Allah, sehingga segala yang difirmankanNya laa raiba fiihi. Bahkan api tak membakar Ibrahim, bahkan hujan diperkenankan turun oleh Istisqa’ kita bersama. Tak ada yang mustahil bagi-Nya. Kalau ia mau: “….maa amarnaa illaa waah idafun kalahmin bil-bashor….”

Cuma, kita bukan makhluk manja. Kita bukan pengemis yang tak punya otak atau rasa malu. Untuk urusan kacang goreng atau masalah — masalah rasional kecil lainnya tentulah kita bereskan sendiri secara manusia.

Kita tidak lantas meminta agar segala urusan kita Allah yang mengurusnya. Kita bukan anak sekolah yang kurang belajar maksimal dan hanya mengandalkan doa dan sesudah terkabul lantas lupa bersyukur.

Dan lagi, segala sesuatu ada syaratnya. Kita tidak bisa hanya mentamengi diri dengan mukjizat AI-Qur’an apabila secara keseluruhan AI-Qur’an tak kita laksanakan nilainya. Tanpa mematuhi AI-Qur’an berarti AI-Qur’an “enggan” menyatu dengan kita, atau kita tak cukup bersih untuk menyatukan diri dengan AI-Qur’an, dan dengan demikian kita juga tak bisa menghayati kesaktian ijaznya. Kesaktian magis puncak ayat AI-Qur’an itu ibarat genteng yang melindungi seisi rumah kita dari hujan. Artinya, kita tahu bahwa genteng tak bisa kita taruh di udara. Mesti kita bangun fundamen, dinding, kayu penyangga genteng itu, serta tiang pusat. Nah, kukemukakan kepada Saudaraku di desa itu bahwa umumnya kita di desa ini sudah cukup membangun fundamen, tiang pun sudah cukup berdiri, tinggal kita sempurnakan kekuatannya semua, sehingga bisa kita taruh genteng untuk melindungi kita dari hujan. Jika demikian, maka Insya Allah kita bukan saja terhindar dari pencuri ayam, tapi juga segala pencuri yang lebih bermutu, bahkan dari sihir dan fitnah. Kenapa tidak? Allah Maha Benar bahwa Dia Maha Melindungi. Cuma barangkali saja di dalam diri kita ayat-ayat Allah itu masih berupa tumpukan genteng yang mubazir, karena kita tak menggunakan hikmahnya.

Saudaraku itu termangu-mangu. Ketika itu Ashar segera tiba dan kami beranjak sama-sama ke surau.


Video Habib Anis Sholeh Ba'asyin & Emha Ainun Najib - Cahaya Atas Cahaya

Video Habib Anis Sholeh Ba'asyin & Emha Ainun Najib - Cahaya Atas Cahaya 

Reportase Mizan Eksekutif Forum: Menata Hati dan Pikiran Bersama Cak Nun

sumber gambar
Mizan bukan nama yang asing lagi dalam kancah industri buku Nasional. Penerbit yang berkantor pusat di Bandung itu, telah banyak diketahui sebagai salah satu penerbit yang rajin memproduksi buku-buku bertema Islam. Selain kegiatan penerbitan, lembaga itu juga memiliki sebuah forum diskusi rutin yang digelar di kantor redaksi Mizan, Jalan Cinambo No. 135, bernama Mizan Eksekutif Forum. Sebuah wahana yang bertujuan memberikan pencerahan dan juga ilmu dari berbagai macam disiplin. Tanggal 7 Februari kemarin, secara resmi Cak Nun diundang sebagai narasumber tunggal pada forum tersebut.
Diskusi dengan Cak Nun, dibuka dengan ajakan untuk merenungkan sisa usia dalam menata harapan untuk hidup yang lebih baik, termasuk dalam kaitan dengan masa depan Indonesia. Hari-hari yang berjalan gaduh menjelang pemilu 2014, riuh-rendah kebisingan politik dan kecemasan-kecemasan yang menyusup di ranah sosial tentang bagaimana nasib Indonesia, jangan sampai menjadikan generasi muda keliru dalam meletakkan konsentrasi. Pada topik ini, Cak Nun menegaskan tentang perlunya membenahi cara berpikir terhadap fenomena apapun, supaya lebih jernih meneropong persoalan. Baik itu perkara yang berkenaan dengan pribadi, sosial hingga soal kenegaraan. Memupuk semangat untuk terus mencari solusi-solusi baru atas setiap masalah dan tidak berhenti dengan pengetahuan-pengetahuan yang masih bersifat pakem. Mengedepankan kemandirian berpikir, dengan tidak asal ikut pada kesimpulan-kesimpulan konvensional, yang belum tentu benar. Proses pengolahan nalar berkesinambungan untuk menemukan kebenaran dan ilmu yang lebih segar, harus terus dipacu.


“Jadi anda harus menjadi manusia yang mujtahid. Ittiba boleh, ngikut boleh, tapi anda harus paham persis apa yang harus anda ikuti. Nah, yang terjadi sekarang kan taklid mbak. Satu ngetut (mengikuti-jawa-red) ini, semua ngetut ini. Yang satu nuduh itu, sedang lainnya nuduh itu. Manut grubyuk (membebek buta) kalau bahasa jawanya. Atau seperti peribahasa rubuh-rubuh gedang (roboh beruntun layaknya pohon pisang)”.

Cak Nun mencontohkan, bagaimana fenomena rokok di Indonesia telah menjadi tema yang terus-menerus dituding negatif. Iklan-iklan korporat swasta maupun pemerintah rajin menulis tentang bahayanya, bahkan belakangan kian lantang dengan meneriakkan kalimat “Merokok Membunuh Anda”. Padahal apabila digali lebih dalam, rokok bukan satu-satunya bahan yang membuat orang dijelang kematian. Segala hal yang di dunia ini berpeluang untuk menyebabkan kematian itu. Dari asap kendaraan, polusi pabrik, hingga konsumsi gula. Hal yang kerap dijadikan fokus bahasan, justru pada produknya, buka cara menggunakan produk itu. Apakah sesuai dengan taraf kewajaran bagi tubuh atau tidak. Jika kemudian rokok mengemuka menjadi persoalan besar kesehatan tubuh manusia, tentu harus diteliti kembali apa motif dibalik kampanye besar-besaran tersebut.

“Kalau ada yang mengatakan bahwa ahlul hisap (perokok-red) itu karena komitmen kepada produk yang ditindas, buktinya sekarang saya ndak merokok selama masuk Mizan ndak masalah. Jadi saya ndak merokok itu ndak masalah. Apa saja, asal anda tidak maniak itu anda tidak masalah. Kalau anda berlebihan itu jadi masalah. Jadi yang membunuh bukan hanya rokok, tapi nasi juga membunuhmu, apa saja bisa membunuhmu. Cintapun bisa membunuhmu. Kalau kamu ingin tidak mati, hanya satu caranya, jangan hidup. Jadi, saya kasihan sama rokok. Lha wong knalpot saja ndak dikasih peringatan, polusi pabrik ndak dikasih peringatan dan tidak dibilang membunuh. Tapi rokok dibilang membunuh. Atau gula, sudah jelas banyak orang sakit gula, berjuta-juta tapi gulanya tidak diapa-apain. Jadi ada diskriminasi yang luar biasa”. Kemudian Cak Nun melanjutkan, “Ini bukan soal rokoknya. Maksud saya ini supaya kita tidak berhenti pada pengetahuan-pengetahuan pakem saja. Anda harus tetap mencari terus. Anda harus berijtihad terus. Karena dalam islam kan cuma 3, ijtihad, ittiba, taklid”.

Bahasan mengenai rokok tersebut dilengkapi dengan pengalaman Cak Nun yang pernah didatangi oleh rombongan peneliti kretek. Pada satu kesempatan, di Jogja, berkumpullah orang-orang yang memiliki hasil penelitian akademis-ilmiah mengenai rokok kretek. Hasil riset itu menyebut, bahwa rokok kretek itu sebetulnya bukan konsumsi layaknya makanan. Namun lebih merupakan solusi pengobatan untuk penyakit-penyakit yang menyangkut tenggorokan dan nafas. Penemuan mengenai kesimpulan itu terjadi pada tahun 1963.

“Tapi syaratnya, tembakau itu harus dengan cengkeh. Lalu minuman kopi dijadikan sebagai aktivatornya. Harus ada kopinya. Kalo merokok cengkeh, eh, kretek dipadu dengan teh nanti makin sakit. Anda sakit. Tapi kalo dengan kopi anda menjadi plus”.

Konsentrasi kepada Allah
Lebih jauh Cak Nun mengajak hadirin diskusi sore itu, untuk membenahi sikap dengan kembali serius meletakkan Allah sebagai konsentrasi utamanya. Saat melakukan kegiatan apapun tujuan primernya adalah Allah, bukan yang lain. Dimasa kini, banyak yang tergelincir dan keliru fokus, sehingga hubungan dengan Allah tertutupi oleh hadirnya pihak lain. Ustadz, kyai, organisasi keagamaan, imam-imam masjid, pimpinan politik, hadir lebih dominan sebagai pihak yang dijadikan fokus tendensi kepatuhan umat. Akibatnya, Allah kerapkali menjadi pihak yang tidak lagi ada sebagai tujuan pokok dalam beraktifitas apapun.

Topik tersebut mengalir pada sebuah pengalaman, ketika tahun 1990 Cak Nun diminta oleh Habibie untuk bergabung dalam Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tawaran tersebut dilontarkan Habibie kepada Cak Nun dalam sebuah perjalanan di atas pesawat yang ia sewa. Cak Nun memang sedang jadi sorotan karena tulisan-tulisannya yang tajam di media, demikian pula dengan ceramahnya yang kritis pada berbagai kesempatan. Setelah melakukan pembicaraan, Cak Nun pun bergabung. Meski tak lama kemudian, lahir ketidaksepakatan-ketidaksepakatan yang mengubah sikap Cak Nun terhadap ICMI, sehingga membuatnya memutuskan untuk mundur. Salah satu peristiwa menggelitik yang dialami Cak Nun ketika menjadi pengurus ICMI yang cuma sebentar itu, adalah perihal sebuah pasal dalam aturan organisasi.

“Disitu ada pengumuman, bahwa semua pengurus pusat ICMI diwajibkan untuk sholat. Saya menolak. Yang boleh mewajibkan saya — apapun itu — hanya Allah. Kalau ICMI mewajibkan saya untuk sholat, itu membuat sholat saya tidak khusyuk. Kalau saya sholat kepada Allah, dunia harus tidak ada. Tidak boleh terhalangi oleh ada Aa Gym, tidak boleh ada Uje, tidak boleh tertutupi MUI, tidak boleh terhalangi Indonesia. Antara aku dengan Allah tidak boleh ada hijab. Dan selama ini, seluruh insitusi islam itu nutupi seluruh hubunganmu dengan Allah. Betul ndak?” hentak Cak Nun dengan retorika yang cerdas. Hadirin meresponnya lewat senyum. Beberapa diantaranya mengangguk-anggukan kepala.

Titik berat penataan konsentrasi kepada Allah ini, muaranya adalah menemukan Allah dalam tiap rinci kehidupan. Sebab prinsipnya, pada keadaan apapun manusia mesti menemukan Allah. Sebab itulah tujuan utamanya. Dengan akalnya, manusia mengolah metode-metode, menjabar cara-cara untuk bertemu dengan Allah. Melukar misteri hidup dan penelahaan jatidiri agar memahami Allah dari segala aspek. Jika manusia telah menemukan Allah, maka cara apapun menjadi tidak penting. “Untuk tujuan itu”, ulas Cak Nun, “manusia tinggal memilih latar belakang kebudayaan masing-masing, untuk dijadikan alat telaah menemukan Allah”.

“Mau dari kebudayaan Sunda, kebudayaan Jawa, kebudayaan Arab, Yunani, atau dari mana saja anda bisa sampai ke Allah. Bisa dengan Asmaul Husna, bisa dengan struktur 25 rasul, bisa melalui apa saja. Atau yang kecil saja. Anda bisa memakai konsep empat sahabat untuk memahami diri dan hidup, agar menemukan Allah. Apakah engkau punya kecenderungan Abu Bakar, apakah engkau Umar, apakah engkau ini Usman, ataukan engkau ini Ali. Temukan dirimu siapa. Atau engkau kadang-kadang Umar, kadang-kadang Abu Bakar, kadang-kadang Usman, kadang-kadang Ali. Ndak apa-apa. Orang punya kecenderungan bisa punya variabel yang campur-campur. Tapi yang panting, kalau mengalami apapun, harus bisa sampai ke Allah. Untuk apa makan kenyang enak, tapi tidak sampai ke Allah? Sebab, jika ujung segala urusan adalah hanya sampai ke Allah, tidak penting lagi apakah makanan itu enak atau tidak enak. Dengan menghadirkan Allah disetiap detak jantungmu, maka segala sesuatu akan menjadi ringan” lanjut Cak Nun, disambut dengan tepukan tangan hadirin.

Hari semakin sore, tapi suasana dalam ruang diskusi itu kian hangat dengan paparan Cak Nun yang diselingi lontaran-lontaran jenaka. Melalui kalimat-kalimat yang tangkas dan lancar, Cak Nun menggugah semangat hadirin untuk tidak meratap-ratapi kesulitan hidup. Melawan tiap penderitaan yang menimpa dengan membenahi orientasi, bahwa penderitaan yang dialami itu tidak lebih hanyalah kendaraan untuk menuju Allah. Tendensi apapun selain Allah mesti diletakkan sebagai akibat dari kekuatan cinta terhadap Allah. Termasuk dengan soal surga dan neraka. Keduanya harus diposisikan sebagai akibat dari kualitas hubungan manusia terhadap Allah, bukan tujuan utama.

“Makanya anda jangan tertipu oleh surga atau neraka. Karena Allah memang sengaja membuat ranjau-ranjau, membuat jebakan-jebakan, dengan membuat iming-iming kepada manusia tentang surga. Jika anda jatuh cinta kepada surga, lalu bersusah payah mencarinya, Tuhan akan bilang, “lha kamu ternyata mencari surga, kamu ndak nyari Saya tho?” Hampir semua ustadz ngomong masuk surga masuk atau masuk neraka. Allahnya jadi hilang. Jadi anda jangan tertipu oleh surga, juga oleh neraka. Menurut anda, kalau anda mencari surga, apakah pasti mendapat surga? Yang pasti, anda bisa dapat surga itu kalau anda cari siapa? Cari Allah. Makanya ngapain kamu cari yang selain Allah. Kalau anda cari Allah, dunia akhirat pun dapat semua. Surga pasti dapat. Tapi kalau anda cari surga, belum tentu dapat surga, tapi sudah pasti kehilangan Allah. Jadi kenapa kamu kepincut dengan semua ini?”

Sholat, Sholawat dan Cinta Segitiga
Ditengah suasana yang kian akrab, Cak Nun melanjutkan bahasan yang kian menarik perhatian hadirin. Topik mengenai makna sholat dan shalawat, yang selama ini lepas dari perharian umum. Terdapat banyak hal yang diperintahkan Allah kepada manusia, tanpa Allah sendiri melakukannya. Contohnya adalah perintah untuk mendirikan sholat. Tapi ada satu perkara yang diperintahkan Allah supaya dilakukan hambaNya, dan Allah sendiri juga melakukannya. Kegiatan tersebut adalah Sholawat.

Sebagai awalan, Cak Nun menjabar mengenai penerjemahan istilah “shollu” yang dalam bahasa indonesia diterjemahkan dua versi yaitu sholat dan sholawat. Dalam sebuah hadits populer yang jika ditulis dengan aksara latin berbunyi, “shollu kama roaitumuni ushalli”. Dalam hadits itu, istilah “shollu” bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan kata sholat. Sedangkan dalam surat Al Ahzab ayat 56, istilah “shollu” yang muncul disana diterjemahkan sebagai sholawat, dan pada beberapa terjemahan juga ditafsir sebagai pujian. Kutipan surat Al Ahzab bila ditulis latin berbunyi sebagai berikut: “Innallaha wa malaikatahu yusholluna ‘alannabi. Ya ayyuhalladziina amanu shollu ‘alaihi wa salamu taslima”. Artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.

Cak Nun telah lama melihat perbedaan translasi ini. Karena terjemahan yang tidak disertai penjelasan terpadu dan rinci, sedikit banyak berpengaruh terhadap pemahaman umat mengenai konsep sholat dan shalwat.

“Saya biarkan hal ini berlangsung 20 tahun berlangsung. Sekarang baru mau saya tembus sedikit. Yang saya pertanyakan dari kalimat tadi, apa pekerjaan yang Allah perintahkan dan Allah sendiri lakukan? Sholawat bener? Pertanyaannya, dimana bunyinya Allah bershalawat kepada nabi? Apa wujudnya shalawat kepada Muhammad tersebut? Kalau yang disebut sholawat itu adalah bunyi “Allahuma sholli wa salim ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad” kan gitu.. terus Allah ucapannya apa? Kenapa “shallu kama roaitumuni ushalli” diterjemahkan dengan “sholatlah sebagai mana engkau melihat aku sholat”. Sedang kata “shollu” pada ayat Innallaha wa malaikatahu yusholluna ‘alannabi diterjemahkan dengan kata bersholawat. Lantas, apa perbedaan sholat dan shalawat?” Pertanyaan tersebut menggelitik pikiran para hadirin yang jarang mengikuti loncatan pemikiran Cak Nun.

“Jangan-jangan ini ketidakmampuan saja untuk memahami. Akhirnya dikamuflase dalam translasi Indonesia, yang satu diterjemahkan sholat, sedang yang lain diterjemahkan shalawat. Pada dasarnya makna sholat dan shalawat sama saja. Namun ternyata yang keliru adalah pengertian kita mengenai sholat itu sendiri. Orang dipatok oleh pemahaman materil bahwa sholat itu terbatas pada kegiatan yang diawali oleh takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Meninggalkan pemahaman esensial, bahwa sholat (juga sholawat – red) adalah juga kegiatan tentang komitmen cinta.

“Sholatnya manusia kepada Allah itu diberi formula oleh Allah sendiri melalui Muhammad sehingga bunyinya “shollu kama roaitumuni ushalli”. Maka orang sholat allahu akbar, samiallahuliman hamidah dan seterusnya. Itu salah satu bentuk sholat yang posisinya manusia kepada Allah. Sholatnya Allah ke kita bukan bentuk sebagaimana kita kepada Allah, sholatnya Allah kepada kita adalah cinta dan kasih sayang. Karena urusannya bukan jasad (esensial — red), tapi soal komitmen cinta. Begitu juga Muhammad ke kita, kita ke Muhammad. Muhammad ke Allah, Allah ke Muhammad. Allah ke kita, kita ke Allah. Kalau dalam Maiyah disebut Cinta Segitiga itu. Nah ini contoh kecil aja daripada mikirin Indonesia 2014, ini saja direnungkan agar bisa tenang dan beres”.

Sebelum diskusi berakhir, beberapa hadirin dipersilahkan untuk melontarkan pertanyaan. Baik mengenai kecenderungan cara beragama yang kontroversial di khalayak hingga tentang bagaimana menuntaskan masalah-masalah di Indonesia. Acara diskusi yang diselenggerakan oleh Mizan itu berakhir menjelang senja. Setelah ritual doa bersama Cak Nun masih sempat menyelipkan pesan kepada penyelenggara dan hadirin di diskusi itu. “Saya mohon ijin untuk mengatakan, kalau memang kita bisa sebulan sekali, kalau Allah mengijinkan berarti kita sudah dikasih petunjuk sekarang. Acara kita tidak hanya dialog intelektual dan kultural tapi ternyata harus ada kebersamaan spiritual sehingga diperlukan ada menit-manit atau waktu tertentu dalam acara itu yang maksudnya adalah spiritual. Itu jadi lebih bagus. Intelektual, kultural, spiritual. Itulah pedoman Maiyah Mizaniah” 

Raja, Ratu dan Buto

sumber gambar
Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan bahwa Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala spektrum keilmuan Anda — untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20 ini masih ada raja, ratu, atau buto? banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa ini — diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom ‘raja’, ‘ratu’ dan ‘buto’? 
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki potensialitas untuk cenderung menjadi ‘raja’, yang sadar atau tak sadar, kita terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita cenderung merajai rumahtangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita, merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik — di mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri. Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara ‘raja’ dengan ‘ratu’ sesungguhnya? Sehingga tulisan ini berjudul demikian? Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah satu watak gelap manusia yang  berpotensi antikemanusiaan, antikebaikan, antikehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan. Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo yang oleh ‘sejarah versi Majapahit’ digambarkan sebagai buto yang buruk wajah maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang menindas, yang menampakkan kehendak.
Adapun Menakjinggo adalah pahlawan, nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka, moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain: bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif dan sanggup menemukan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut kelompok ‘beragama’, kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir ‘kudeta‘ ini dan itu, mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan. Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral, yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita baca di  koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja dikatakan “Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan pergantian”. Dan kepada ‘mereka’ dikatakan: “He anak-anak, Paduka sudah tidak berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian….”
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu — bisa pada momentum tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dhawuhnya, perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh negeri  adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan para buto, susahlah semua rakyat.

Ketika Kita Berselisih Faham

sumber gambar
Kita semua, Saudaraku, seaqidah. Selalu bersatu dalam tauhidillah dan tak sebuah macam ‘marodhun fii quluubina’. Makhluk pun yang mampu memisahkan kesatuan kita itu kecuali kekeruhan rokhani kita sendiri:  Tapi mungkin kita tak sefaham. Tak sepengertian pemikiran. Tak sependapat. Tak seanutan. Saudaraku menganut ini dan aku menganut itu, sementara saudara kita yang lain barangkali suatu unikum tertentu dari kepribadiannya berdasarkan kodrat kelahiran dan mungkin latar belakang kebudayaannya. Kita kemudian saling bisa bermusyawarah, dan hasil musyawarah itu sebagian bisa kita putuskan menjadi suatu kesepakatan tunggal, tetapi sebagian yang lain mungkin harus kita biarkan berbeda-beda. Kita juga bisa saling menilai, saling mengkritik, bahkan saling menghakimi: tetapi yang terpenting harus kita ingat ialah tindak penghakiman itu selayaknyalah dilandasi oleh keinsyafan kita akan keterbatasan dan relativitas kemampuan kemakhlukan kita. Selebihnya keyakinan yang tak bisa ditawar-tawar bahwa Allah-lah yang Maha Kuasa dan Maha Mampu untuk menyelenggarakan penilaian yang sehakiki-hakikinya.
Demikianlah, Saudaraku, bahwa mungkin saja kita tak sefaham, hal itu tidaklah perlu dirisaukan benar. Pertama, kata Pak Guru: seribu kepala punya seribu pendapat. Ketika Allah berfirman wa ja’alnaakum syu’uuban wa qobaa-ila, lita’aarofuu…., kukira yang dimaksud, Insya Allah, bukan sekedar perbedaan bangsa-bangsa dan suku-suku saja, melainkan lengkap dengan analoginya, dan konotasinya. Yakni bahwa disamping bangsa-bangsa dan suku-suku selalu memiliki unikum-unikum tersendiri yang membedakan alam hidup mereka, cara berpikir mereka atau kebiasaan psikologis tertentu mereka; juga tentulah ada pengertian yang lebih meluas, ada syu’uub dan qobaa-il pemikiran yang mencerminkan tipologi internalisasi keagamaan yang berbeda-beda. Dan diantara yang berbeda-beda itu dianjurkan untuk ta’aarofu, saling kenal-mengenal, saling mengerti, saling memberi ruang, saling toleran, sepanjang tak sampai menyangkut perbedaan prinsipil tentang aqidah. Sebagian dari perbedaan itu bisa kita runding untuk membawa kita ke kondisi ‘sepengertian’, tapi sebagian yang lain mungkin tidak. Kemudian kalau toh tetap juga timbul keruwetan dari proporsi yang demikian, toh kita masing-masing tetap bisa berserah diri kepadaNya, kaanal-ilahu bi-kulli syai-in ‘aliimaa. Ini sebab kedua kenapa perbedaan-perbedaan faham diantara kita tak selalu harus kita risaukan. Berulangkali aku mengatakan kepada saudaraku bahwa kita memang harus berusaha agar perbedaan diantara kita bisa menjadi seperti yang dikehendaki Allah, yakni menjadi rahmat, bukan malapetaka.
Namun betapa susahnya hal itu kita capai, Saudaraku, kita telah mengalami bersama. Kita ini bukan masyarakat musyawarah, tapi masyarakat konsensus. Bukan masyarakat diskusi, tapi masyarakat kompromi. Tentu saja tidak sepenuhnya demikian, tapi itulah frekuensi terbesar dari praktek komunikasi sosial kita. Kalau kita bermusyawarah, kita telorkan kebijaksanaan — itu seringkali berarti ‘tahu sama tahu’ yang tak jarang disifati kemungkaran-kemungkaran tertentu. Kita suka damai, tapi itu acapkali berarti kita mengkompromikan, atau menganggap klop apa yang sesungguhnya bertentangan. Kita menyogok dengan sejumlah uang untuk kelancaran suatu urusan, dan kita sebut itu perdamaian. Kita putuskan sesuatu yang tak bijaksana untuk rakyat banyak dan kita sebut ketidakbijaksanaan itu sebagai kebijaksanaan. Kita bisa menganggap kekejaman-kekejaman tertentu sebagai tindakan luhur yang menegakkan hukum dan harkat kemanusiaan. Kita membiasakan diri untuk sedemikian luwes dan retoris untuk mendorong diri beranggapan, bahwa sesuatu hal itu ma’ruf, bukan mungkar. Dalam praktek urusan kenegaraan dan kemasyarakatan seringkali kita menjumpai kenyataan seperti itu.
Kita tak membiasakan diri untuk melihat dan memahami perbedaan dalam proporsi yang wajar. Sistim politik negeri kita jelas mendorong suatu keadaan untuk ‘tunggal’ seperti kehendak Pemerintah. Mafhumlah kita terhadap perilaku kaum establishment itu. Namun lebih menyedihkan hati jika dalam praktek kehidupan beragama kita juga menjumpai kecenderungan sikap otoriter yang secara sadar atau tak sadar cenderung memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Ummat sukar akan berangkat dewasa dalam iklim seperti itu. Tentulah Saudaraku tak usah memintaku untuk menyebut-nyebut contoh kongkrit itu, sebab kita sudah sama-sama mengetahui dan mangalami.
Aku meyakini sepenuhnya bahwa kecenderungan itu tidak muncul dari niatan sengaja untuk bersikap otoriter. Paling jauh itu adalah ungkapan naluri manusia untuk senantiasa mempertahankan diri. Diri harus selalu dipertahankan, termasuk semua keyakinan dan pengertian-pengertian pikirannya, sebab seseorang tak bisa hidup jika tidak dengan keyakinan dan pengertian pikirannya sendiri. Namun persoalannya bahwa ia tak harus ‘menyuruh’ semua orang untuk berpendapat seperti ia, dan hendaknya ia yakin juga bahwa tanpa seorang pun yang lain yang sependapat dengannya: ia tetap syah untuk menghidupi keyakinan dan pengertiannya. Saudaraku mengalami, terkadang ada saudara kita merasa ‘gugur’ gara-gara orang lain tak sependapat dengannya, lantas ‘gugur diri’nya itu memanifestasi liwat kata-katanya bahwa yang gugur seakan-akan adalah kebenaran Islam. Ia hanya bisa hidup dengan mengidentifikasikan dirinya dengan kebenaran Islam, sehingga siapa saja yang tak sependapat dengan dia, maka ia anggap melanggar Islam. Ia memperlakukan seolah-olah agama Islam hanyalah sebuah benda mati bagaikan seonggok batu yang ‘verbal’ dan miskin. Ia tidak menyediakan ruang dan tenaga untuk membayangkan bahwa pribadi-pribadi manusia yang berbeda-beda, kondisi kehidupan yang berbeda-beda, jika ditumbuhkan dengan Islam, maka ia akan memunculkan mozaik kekayaan-kekayaan yang tiada batasnya, bagaikan percikan dari kekayaan Allah yang tak bisa diperkirakan. Ia juga tak bersiap, karena itu, untuk bersikap tawadldlu’, rendah hati, sadar akan keterbatasan kita bersama, ditengah mozaik yang hanya sedikit saja mampu kita lihat dan rumuskan itu.
Kukira, Saudaraku, hakekat dari kesemuanya itu ialah kesadaran kita bersama, bahwa hidup kita ialah bergerak mengidentifikasi diri dengan kebenaran Islam. Akan tetapi sosok tubuh kebenaran diri kita tidaklah identik dengan sosok tubuh kebenaran kita. Sebab kebenaran Islam sangat luas dan besar, seluas alam semesta yang Ia ciptakan, dan kita sekedarbergabung kepadanya. Ya, kita yang amat kecil ini, hanya bergabung kepadanya. Mengolah pribadi kemusliman tidaklah berarti membangkitkan egosentrisism dimana seseorang menyerap ‘seluruh Islam’ dan ia menganggap diri persis dengan kebenaran Islam itu sepenuhnya. Itu suatu takabbur. Padahal  kita tidak lebih berarti dari dzarrah: jika kita dilahirkan untuk menjadi khalifah dimuka bumi, maka kekhalifahan itu mustilah dengan penuh tawadldlu’; kesadaran akan kefaqiran dihadapan Allah.
Hal ini, Saudaraku, persis dengan kenyataan bahwa tak seorangpun mampu  menguasai Al Qur’an. Paling jauh ia hanya menguasai penguasaaanya sendiri  atas Al Qur’an. Cakrawala Al Qur’an tak akan selesai ditempuh, jalah lurusnya tak bakal habis dikembarai. Segala yang mampu diucapkan oleh pikiran dan hati kita dari dan tentang Al Qur’an, hanyalah sebatas relativitas pengetahuan dan pengalaman pribadi kita, dan Al Qur’an tak bisa engkau hitung berapa kali lipat kekayaannya dibanding kekecilan kita yang sering sombong ini. Maka tak ada pilihan lain kecuali tawadldlu’. Dan memang itu yang terbaik.
Saudaraku, kita tak jarang mengalami betapa kita terjebak untuk bersikap mutlak-mutlakan ditengah perbedaan pendapat. Ini karena kita amat possesif terhadap pemilikan kita atas pengertian-pengertian kita sendiri. Bagai seorang perawan yang tak mau secuil pun lelaki pujaannya dijelek-jelekkan oleh orang lain. Kita begitu romatik, karena memang pada dasarnya kita begitu mencintai dan bahagia dengan Islam kita. Begitu rupa romantiknya sehingga dalam beberapa hal kita menjadi buta. Kita jadi cepat tersinggung, cepat mangkel, cepat berang dan naik pitam jika sedikit saja hal tentang ‘pacar’ kita itu disentuh orang. Secara rasional kita menjadi tidak objektif. Dan secara spiritual-psikologis kita menjadi tidak dewasa, tidak rendah hati. Keduanya bergabung dan menghasilkan suatu sikap yang tak menyiapkan untuk membuka diri dan menerima kemungkinan-kemungkinan kebenaran baru atas diri kita.
Dalam keadaan begitu kita tanpa sadar, sering melangkahi peringatan Allah, ijtanibuu katsiiron minazh zhonni, inna ba’dhodh zhonni istmun, walaa tajassasuu walaa yaghtab ba’dhukum ba’dhoo. Kita sering cepat berburuk sangka, cepat cenderung mencari hanya kesalahan-kesalahan saudara kita ynag lain. Bahkan ada prototype mentalitas kita yang kurang biasa berbeda dalam berhadapan ini, mendorong kita mengungkapkan perbedaan itu dengan cara ‘yaghtab ba’dhukum ba’dhoo’. Dengan begitu akan gampang terjerumus pula kita untuk tergolong dalam kata-kata Allah ‘yashkor qoumun minqoumin’,  sedangkan bisa-bisa saja kaum yang dicerca itu yakuunuu khoiron minhum.
Lebih ‘lucu’ lagi, Saudaraku, didalam saling mencerca itu, masing-masing kita merasa benar, dan sungguh-sungguh dengan khusyu’ menyandarkan kebenaran masing-masing itu ke hadirat Allah, sehingga masing-masing meras innalloha ma’anna. Tidakkah, Saudaraku, engkau pernah menangkap dan merasakan getaran keadaan yang seperti itu ditengah perselisihan faham diantara kita semua? Bahkan ada Saudara kita yang dalam keadaan itu lantas saling mengemukakan kata-kata seperti yang diungkapkan Al Qur’an: …i’maluu ‘alaa makaanatikum innii ‘aamil, wantadhiru inni muntazhirun…, atau …lanaa a’malunaa wa lakum a’maalukum, salamun ‘alaikum laa nabtaghil-jaahilin… atau fanistakbaruu fal-ladziina ‘inda robbika yusabbihuuna bil lili wan-nahaari wa hum laa yas-amuun…, bahkan …idz ja’alalladziina kafaruu fii qulubihimul-hamiyyata hamiyyatal-jaahiliyati fa-anzalallahu sakinatahu ‘alaa rosuulihi wa ‘alal mukminina wa alzamahum kalimatat-taqwa.
Tentu saja, Saudaraku, itu benar. Dan mungkin saja memang diantara beribu pikiran kita atau diantara sikap-sikap hidup kita terdapat unsur kekufuran tertentu (seperti juga silau mata kita yang berlebihan terhadap keduniawian dewasa ini bisa dianggap meng-ilah-kan yang selain Allah); akan tetapi, tentu akan lebih afdhol, apabila kita mengusahakan suatu keterbukaan dan kedewasaan komunikasi, justru untuk membuka kedok kemungkina kekufuran pribadi kita masing-masing dan melenyapkannya. Saudaraku mungkin pernah mendengar aku beberapa kali mengalami berbagai perselisihan faham dengan berbagai kalangan Muslim dalam pentas-pentas atau pembicaraan-pembicaraanku diberbagai tempat, dan aku gagal menemui keinginanku akan keterbukaan dan kedewasaan komunikasi seperti itu. Aku sering berkata kepada saudara-saudara kita: “Jika Saudaraku melihat aku sesat, dan bersedia mengishlah membawaku kepada jalan yang benar, maka alangkah besar rasa syukurku”. Namun, aku justru sering menghadapi berbagai sikap tertutup seperti kuungkapkan diatas: sikap tertutup itu bukan karena Islam, tetapi karena faktor mentalitas, keterbatasan-keterbatasan psikologis. Sampai pada suatu saat aku berkata kepada diriku sendiri: Kalau saja aku ini seorang muallaf, maka dengan menghadapi sikap jumud seperti itu, tak mustahil aku terlempar kembali ke luar Islam. Namun, Alhamdulillah, justru karena itu maka Allah berkenan menganugerahiku tenaga untuk makin mencintai-Nya serta lebih dalam meyelami samudera nilai Islam yang demikian luas dan dalam.
Saudaraku tahu mungkin kemusliman kita ini belum apa-apa dan sungguh masih amat jauh dari yang dikehendaki Allah, karena itu betapa kita semua harus senantiasa siap terbuka atas nilai-nilai kebenaran Islam yang mungkin saja kemarin masih belum kita insyafi. Banyak hal kita ketahui, namun jauh lebih banyak lagi yang belum kita ketahui. Allah telah memaparkan segalanya, tapi barangkali mata kita masih cukup buta dan telinga kita masih agak tuli. Segala yang ‘kita kuasai’ itu pastilah sedzurroh saja dibanding realitas dan nilai yang sesungguhnya yang disediakan oleh Allah Yang Maha Kaya.
Kita semua adalah khalifah fil-ardh, tetapi engkau atau aku bukanlah satu-satunya khalifah. Dan aku kira tidak benarlah apabila kita mempunyai sikap seperti itu: seakan-akan kita adalah langsung mewakili Allah dimana setiap orang musti sependapat dengan kita, betapapun secara subjektif kita amat meyakini dan menganggap luhur keyakinan serta kebenaran pikiran kita sendiri itu. Saudaraku Insya Allah sudah membaca buku Dialog Sunnah Syi’ah: surat-menyurat antara ‘Kyai Sunnah’ asy-Syaikh al-Bisri al-maliki dengan ‘Ulama Jumhur’ as-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-‘Amili itu amat memberi informasi berharga kepada kita tentang percaturan faham yang berbeda antara Sunnah yang mayoritas dan Syi’ah yang minoritas. Akan tetapi yang tak kalah bermaknanya dibanding informasi itu ialah bagamana cara dan watak mereka didalam berdialog. Bagaimana keterbukaan sikap pribadi mereka, seberapa kematangan dan kedewasaan yang menjadi ruh komunikasi antara mereka, betapa tawadhu’ dan rendah hati mereka, serta betapa besar gairah murni untuk sungguh-sungguh mencari kebenaran: tanpa sikap defensif dalam arti emosional, tanpa menonjolkan ‘gengsi’ atau ‘harga diri’ pada proporsi yang tak wajar, atau tanpa etos ‘mempertahankan pendapat secara membabi- buta’ seperti yang sering menjadi watak dari dialog-dialog moderen dewasa ini, yang acapkali terkotak pada dimensi ‘intelektual’ belaka. Semua perwatakan dialog itu tentu saja merupakan ‘dimensi tersembunyi’ dibalik formalitas informasi yang dipaparkan oleh buku tersebut.
Demikianlah, Saudaraku, kita yang masih faqir ini semoga dibimbing oleh Allah untuk menumbuhkan kekayaan-kekayaan seperti itu. Kita Kaum Muslimin Insya Allah akan menyongsong kemenangan, tetapi itu tak bisa tidak harus dimulai dari kesediaan kita semua untuk memerangi berbagai marodhun didalam diri kita sendiri. In dholaltu fainnamaa adhillu ‘alaa nafsii, wa-inihtadaitu fabimaa yuuniya ilayya robbil innahu samii’un qorlib.
Menturo Jombang, Agustus 1983.

Memukul dan Tidak Bermusuhan

sumber gambar
Bertinju di ring masih lumayan moralnya. Caknun.com - Mereka saling rela memukul dan dipukul karena suatu tekad profesional, aturannya jelas, berlangsung transparan, dan mereka bertinju tidak dalam rangka bermusuhan, membenci atau menguasai sebagai sesama manusia.
Ada pertinjuan yang lebih kejam dari itu, yakni mekanisme orang ditinju, dipukul, dan disakiti di berbagai bidang kehidupan tanpa orang itu rela disakiti dan tak punya kewajiban apa pun untuk disakiti.
Kalau kita berpikir kuantitatif, tinju hanya ada di ring tinju. Tapi dengan berpikir kualitatif kita bisa menemukan petinju di Istana Negara, di gedung parlemen, di kantor-kantor kementerian, Gubernur hingga Lurah. Sejauh ini rakyat hampir selalu kalah KO.