Latest Updates

Demokrasi dan ‘Egomania’


Saya menduga keras bahwa secara ilmu bahasa, istilah ‘egomania’ tampaknya tak bisa dibenarkan. Tetapi saya tidak sanggup menjumpai idiom lain untuk mewakili apa yang hendak saya jelaskan.
Ialah suatu kondisi mentalitas di mana ‘kosmos kepribadian’ seseorang hampir seluruhnya diisi oleh hanya dirinya sendiri. ‘Dirinya sendiri’ itu mungkin lebih gamblang kalau saya sebut ego-pribadi, atau bahasa umum menyebutnya ‘interest pribadi’. Idiom yang saya gunakan itu memakai kata ‘mania’ untuk menerangkan kadar kepenuhan interest pribadi itu di setiap sepak terjang seseorang. ‘Stadium tinggi’ egoisme itu membuat orang tersebut tidak memiliki aktivitas sosial, karena setiap perilaku ‘sosial’nya sesungguhnya merupakan aktivitas pribadi. Dengan kata lain, seluruh dunia ini, orang lain, lingkungan, fasilitas-fasilitas kehidupan, hanyalah ‘bagian’ dari egonya.
Anda boleh membayangkan jika —misalnya— negara, partai politik, lembaga-lembaga sosial, rakyat, tanah, hasil bumi, atau lebih eksplisit: institusi Ikadin atau AAI umpamanya hanyalah bagian dari egoisme atau interest pribadi-pribadi.
Sesungguhnya Anda boleh percaya bahwa hal demikian sudah merupakan pemandangan ‘lumrah’ di sekitar kita. ‘Pancasila’, ‘Islam’, ‘Kesatuan dan Persatuan’, ‘Manusia Indonesia Seutuhnya’, ‘Konstitusi’, atau apapun, amat sering diucapkan tidak sebagai kebenaran diri idiom-idiom itu sendiri, melainkan sebagai alat dari proyek interest-interest pribadi. Pancasila seringkali hanyalah berfungsi instrumental, sedang yang substansial adalah ‘egomania’.
Sesungguhnya pula, jika Anda memasuki hakekat realitas dunia perpolitikan — dalam konteks sempitnya maupun konteks luasnya — pandangan mata Anda insyaallah akan bergelimangan egomania. Lantas Anda akan juga merasa tergetar apabila menyaksikan betapa batu cadas egomania itu dikonstruksikan dengan pilar-pilar kekuasaan politik, fundamental-fundamental beton persenjataan, serta dinding-dinding tebal kulturalisme dan ‘birokratisme’.
Jika sebuah komunitas, atau setidaknya sebuah organisasi, mengalami keretakan: Anda silahkan bersangka baik bahwa itulah mekanisme demokrasi. Itulah potret pluralitas di mana perbedaan pendapat dan kehendak boleh dipergunakan.
Akan tetapi jika kemudian Anda menjumpai bahwa itu bukanlah perbedaan pendapat tentang kebenaran, melainkan benturan kepentingan-kepentingan ‘egomania’, persilahkanlah hati nurani Anda menitikkan air mata.
Apalagi jika cara untuk berbeda yang dipakai oleh kaum intelektual, priyayi modern, pengemban prinsip hukum, serta teladan bagi jutaan rakyat yang selalu dituduh ‘buta hukum’ — persis dengan cara para korak atau gali membenturkan perbedaan.
Kita adalah manusia modern yang tak tahu diri. []
Pernah dimuat di Rubrik Wall Pass, Yogya Post, Jumat Pon, 3 Agustus 1990
Dokumentasi Progress