Latest Updates

Wajah Komersial

sumber gambar
Kalau kita buang angin, yang kita cuci atau kita basuh dengan air dalam berwudlu, bukanlah wilayah biologis yang mengeluarkan angin itu, melainkan wajah kita. Mungkin karena yang harus terutama dipertahankan oleh manusia adalah kebersihan jiwa dan kualitas kepribadiannya, yang tercermin atau diwakili oleh penampilan wajahnya.
Akan tetapi pikiran dan prinsip semacam itu tidak cocok dengan dunia modern, karena tidak realistis dan kurang pragmatis. Yang paling utama dari wajah manusia bukanlah muatan mutunya, bukan keindahan pribadinya, juga bukan tanggung jawab sosialnya — melainkan apakah ia komersial atau tidak, marketable atau tidak, alias layak jual atau tidak.
Sebagian dari Anda tentu tidak pernah menyangka bahwa Tuhan menciptakan wajah manusia itu urusan utamanya adalah jual beli kepribadian dan kemanusiaan.
sumber

The Politics of Kissing Hands

sumber gambar
Seorang pembaca harian ini dari Bogor, yang tulus hatinya dan tegak pikirannya, yang bersahaja hidupnya maupun sangat serius hajinya — sejak beberapa bulan yang lalu menuntut saya agar  menuliskan lewat rubrik ini suatu masalah yang ia sodorkan kepada saya melalui surat. Masalah yang baginya amat sangat penting, dan alhamdulillah bagi saya juga amat sangat penting.
Lebih alhamdulillah lagi karena Rasulullah Muhammad saw, juga sangat concern terhadap soal ini,  terbukti lewat banyaknya sabda beliau yang khusus mempermasalahkannya. Juga bagi Allah swt sendiri — sepengetahuan saya — soal ini juga termasuk tema primer dan prinsipil yang harus diurus oleh hamba-hambaNya secara murni dan konsekuen.
Mustahil kalau bagi Allah masalah ini tergolong sekunder. Hal mengenai siapa yang dihormati dan siapa yang menghormati, telah ia informasikan acuan dasar akhlaq atau moralitasnya. Allah tidak memerintahkan agar seorang bapak atau ibu merunduk di depan anak-anaknya, melainkan anak-anak yang dengan prinsip birrul walidain wajib menghormati bapak-ibu mereka.
Bukan karena iseng-iseng saja Allah menciptakan adegan di mana ia memerintahkan para malaikat agar bersujud kepada Adam. Episode ini tidak bisa diubah misalnya dengan meletakkan iblis sebagai aktor yang disembah sementara Adam mensujudinya. Menurut salah satu logika tafsir, begitu satu  malaikat menolak menyembah Adam, turun derajat atau kualitas malaikat itu — dari “cahaya” menjadi “api”. Ilmu bahasa Alquran kemudian juga berkembang mengacu pada kasus ini, di mana nur (cahaya) selalu dipakai untuk menggambarkan kemuliaan di akhirat, sementara nar (api, neraka) digunakan sebagai simbul dari kehinaan dan kesengsaraan.
Padahal nur dan nar berasal dari komposisi huruf dan rumpun kosakata yang sama.
Iblis ogah menyembah Adam karena alasan feodalisme dan alasan penolakan terhadap regenerasi. Alasan feodalnya, atau bahasa simbolisasi Qur’aniyahnya bernama takabur (gemedhe, sok lebih hebat), karena Iblis merasa dirinya terbuat dari material atau dzat yang lebih tinggi, halus, kualitatif, dan lebih mulia dibanding Adam yang hanya sedikit lebih tinggi dibanding keramik yang sama-sama terbuat dari tanah liat. Padahal Allah sudah menetapkan bahwa Adam ituahsanu taqwin (sebaik-baik ciptaan), karena manusia dianugerahi “cakrawala” (kemungkinan), sementara malaikat atau iblis hanya memiliki “tembok statis” (kepastian) untuk baik atau kepastian untuk buruk. Manusia yang mengolah dirinya dalam kebenaran akan berkualitas mengungguli malaikat, sementara manusia yang memperosokkan diri dalam kesesatan akan berderajat lebih rendah dibanding iblis dan setan.
Sedangkan alasan “penolakan terhadap sunnah regenerasi” — maksudnya adalah ketidaksediaan iblis untuk menerima kepemimpinan manusia atas alam semesta. Bagi iblis manusia itu “anak kemarin sore” kok mau sok memimpin.
Emangnya dia sudah pernah ikut penataran P-4 atau memiliki sertifikat Pekan Kepemimpinan HMI atau PMII! Kok berani-beraninya menjadi khalifah! Apakah manusia sudah punya pengalaman dan jam kerja kepemimpinan, sehingga berani sombong mencalonkan diri atau tenang-tenang saja ketika diputuskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin?
Demikianlah, karena hakekat eksistensi manusia adalah “pengembaraan ke cakrawala kemungkinan” — maka ia bisa tiba pada ruang, waktu dan posisi untuk berhak dihormati atau justru wajib  menghormati.
Para nabi, rasul, dan auliya’ sukses memposisikan diri untuk dihormati oleh para malaikat, ditemani oleh makhluk-mahkluk rohaniah itu ke manapun mereka pergi.
Sementara banyak manusia lain, misalnya Gendheng Pamungkas, sengaja atau tak sengaja melakukan mengembaraan untuk memposisikan diri agar justru menghormati iblis. Bahkan kita semua ini sesungguhnya diam-diam memiliki dimensi-dimensi nilai empirik yang membuat kita layak menghormati iblis — berkat suksesnya rekruitmen dan mobilisasi mereka atas kita-kita yang hina ini.
Kaum ulama juga terdiri atas manusia-manusia biasa yang menempuh cakrawala. Mereka bisa tiba di suatu maqam tinggi, suatu istiqamah, suatu tempat berdiri nilai — yang membuat mereka dihormati oleh ummatnya, dihormati oleh umara, didatangi oleh pejabat gubernur, menteri, dan presiden. Namun bisa juga kaum ulama tiba pada suatu derajat yang tidak mengandung kualitas istiqamah apa-apa, tidak memiliki cahaya kemuliaan sebagai golongan yang ‘alim — sehingga justru mereka dalam tatanan struktural keduniaan justru berderajat untuk selalu sowan kepada umara.
Lebih mengasyikkan lagi kerena sangat banyak ulama, keulamaan, dan kelembagaan ulama yang legitimasinya berasal dari umara. Derajat mereka sangat rendah, dan tak berkurang kerendahannya meskipun ditutup-tutupi dengan seribu retorika dunia modern mengenai partnership antara ulama-umara atau dengan dalih-dalih dan alibi-alibi apapun.
Ulama-ulama jenis ini keadaannya sangat mengenaskan hati. Mereka selalu mengikatkan tangannya pada borgol kekuasaan. Membungkukkan punggungnya di hadapan penguasa dunia, bahkan tidak berkeberatan sama sekali untuk mencium punggung tangan sang penguasa. Di zaman terang dahulu kala terdapat banyak cerita mengenai ‘kesombongan’ ulama yang tak mau dipanggil penguasa, karena derajat ulama bukanlah ditimbali atau didhawuhi oleh penguasa, melainkan dihormati dan dibutuhkan oleh penguasa. Di zaman bebendhu sekarang ini, banyak ulama bukan saja akan sangat senang kalau dipanggil menghadap ke istana penguasa, tapi bahkan selalu mencari jalan, lobi dan channel bagaimana bisa menghadap penguasa.
Sowan ulama kepada umara adalah sebuah mainstream bahasa kolaborasi terhadap kekuasaan. Sowan adalah pernyataan kesetiaan politik ulama kepada umara. Ulama yang membungkuk dan mencium tangan penguasa adalah simbolisasi dari tidak hidupnya etos zuhud di kalangan ulama.
Sowan mencerminkan ketergantungan kaum ulama kepada kekuasaan, keamanan politik praktis, dan mungkin juga jatah-jatah ekonomi — meskipun sekedar arisan naik haji atau dibikinkan satu unit gedung pesantren.
Yang paling salah dari episode-episode sejarah semacam ini adalah Anda-anda yang pusing kepala gara-gara tetap saja meyakini bahwa mereka adalah ulama.
Pernah dimuat di Keranjang Sampah Harian Umum Republika.