Latest Updates

Kafir Politis

sumber gambar
Jika kita telusuri secara mendalam. Cak Nun adalah orang yang mampu menjelaskan bagaimana seharusnya hidup itu dengan detail. Beliau bisa membawa orang kecil menjadi
bergairah hidupnya, mampu membawa manusia yang kerdil hatinya menjadi kuat, dan mampu juga membawa orang-orang yang berpolitis kebakaran jenggot. Di bawah ini ada tulisan Cak Nun tentang Kafir Politis. 
Kalau menjelaskan pada jemaah-jemaah kecil kaum muslimin yang awam tentang kufur ataukafir, biasanya saya memakai entry point soal bersih atau kebersihan.

Misalnya begini: sepanjang seseorang masih mandi dan makan tiap hari, maka ia tak bisa disebut sebagai kafir dalam arti total. Orang mandi, ightisal alias membersihkan diri sendiri, berarti melaksanakan amanat atau perintah Allah untuk menjaga kebersihan badan. Bahwa di luar itu otaknya, perilakunya, perusahaan atau jabatannya, belum di-ghusl atau belum dibersihkan — di situlah barangkali letak fungsi kufurnya. Tetapi tindakan memandikan badan sendiri itu adalah pekerjaan kemusliman.
Demikian juga sepanjang orang masih makan dan minum, maka ia masih memiliki eksistensi kemusliman, karena makan dan minum adalah memenuhi kehendak Tuhan agar hamba-hamba-Nya bersetia kepada kehidupan, antara lain dengan menjaga kesehatan.
Jadi menurut cara berpikir ini, hampir tak ada orang yang seratus persen dikategorikan sebagai orang kafir. Apalagi orang yang meskipun tidak bersyahadat, tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji; biasanya masih berbuat baik kepada anak istrinya, mencintai mereka, mencarikan nafkah, dan sebagainya.
Maka tidak bisa saya bayangkan bahwa ada orang yang sehari-harinya masih mandi, makan, menafkahi keluarganya, bertetangga baik-baik dan santun kepada orang banyak — bisa pada suatu sore kita tuding sebagai kafir, lantas kita halalkan darahnya, atau minimal kitapersonanongrata-kan dan kita kucilkan.
Dalam konteks keilahian dan keagamaan saja pun tak bisa saya bayangkan terjadi pengkafiran semacam itu. Apalagi dalam konteks yang lebih duniawi dan pada tataran yang lebih lemah dan relatif kriteria nilai-nilainya — umpamanya dunia politik.
Kalau mulut kekuasaan politik di suatu Negara menuding seseorang “Kamu tidak bersih lingkungan”, di kepala saya muncul berjilid-jilid buku yang menguraikan beribu-ribu pertanyaan dan kegelisahan. Dari pertanyaan dan kegelisahan yang berkonteks politik praktis, keanehan budaya kekuasaan, sampai yang berkonteks filosofis, etimologis, atau bahkan ideologis dan teologis.
Di dalam perspektif nilai akidah dan hukum agama saja pun term “kafir”, “musyrik”, “munafik”, “muslim” atau “mukmin”, tetap terbatasnya maknanya oleh konteks-konteks dalam ruang dan waktu, di mana suatu peristiwa dan perilaku berlangsung. Kalau ada pedagang agama Isalam menipu pembeli beragama Budha, tidak bisa kita katakana “orang muslim menipu orang kafir”. Perbuatan menipu itu adalah kekufuran, sehingga tidak bisa membuat kita mengatakan bahwa dalam kasus penipuan itu si penipu adalah muslim. Kalau seseorang menipu, maka dalam dunia ruang dan waktu penipuan itu si penipu adalah kafir.
Maka sesungguhnya kalau kita berpikir jujur, di dalam kehidupan sosial masyarakat kita, kata “kafir”, “muslim”, “munafik”, “musyrik”, dan seterusnya itu selama berabad-abad mengalami pengorbanan-pengorbanan yang sungguh-sungguh tidak kecil dan tidak sepele. Mengalami distorsi, pembiasan, pembelokan, bahkan pembalikan arti. Dan kalau pembangkangan makna sebiji kata itu berada di genggaman tangan seseorang atau sekelompok manusia yang memiliki kekuasaan tak terbatas — memiliki ribuan senapan dan prajurit — maka peristiwa-peristiwa besar sejarah yang tragis berlangsung berdasarkan sulutan yang sebenarnya amat sepele.
Ratusan ribu orang bisa tertumpas nyawanya berkat satu kata yang dipelesetkan maknanya. Puluhan ribu orang terpuruk nasibnya ke dalam kegelapan ekonomi dan politik, hanya oleh pembiasan kata “pembangunan” misalnya. Jutaan lainnya bisa kehilangan tanah, kehilangan sawah, kehilangan nafkah, kehilangan kios jualan, kehlangan pekerjaan, kehilangan lingkungan pergaulan, atau bahkan meringkuk di dalam sel-sel sempit berdinding batu tebal dingin — hanya oleh pembangkangan sekelompok manusia terhadap perjanjian murni arti sebuah kata.
Jika pemelesetan makna kata itu sekadar merupakan kasus kebodohan, maka kita hanya bersedih dan menangis. Tetapi kalau pemelesetan itu justru disadari — bahkan didayagunakan untuk rekayasa-rekayasa kekuasaan — maka mungkin seseorang akan hanya menghadapi dua kemungkinan. Pertama, diam, menyerah, dan hancur. Kedua,  berang, marah, melawan, dan mati.
Jadi, secara keseluruhan kita sedang berhadapan dengan tiga masalah besar. Pertama, siapakah atau pihak manakah di dalam sejarah, yang disepakati sebagai berwenang untuk menentukan makna sebuah kata? Kedua, dalam sebuah sistem politik yang berlaku, adalah institusi hukum atau lembaga kebudayaan yang memiliki otoritas dan kewibawaan untuk mengontrol subyektivisme kekuasaan yang seringkali memaknakan kata “bersih”, “PKI”,“balela”, “subversif”, dan seterusnya seenaknya sendiri dari sudut kepentingan kelompoknya — yang apalagi dibungkus di dalam jargon kepentingan umum? Ketiga, berapa dekade sejarah diperlukan untuk menyembuhkan situasi di mana — setidaknya sebagian — kekuasaan yang melakukan pembangkangan kata itu justru secara mantab dan kusyuk merasa bahwa yang dilakukannya itulah paling benar?
Ataukah pertanyaan-pertanyaan semacam yang saya ajukan ini justru dianggap sebagai “cacat politik” atau bahkan “kafir politis”?

Saya vs Anjing

sumber gambar
Ya. Jika anda membaca tulisan-tulisan Cak Nun. Anda akan dibuat terperangah. Cara berpikir Cak Nun lebih ke depan dibanding saya, hehe. Mungkin lebih banyak ke depannya. Hidupnya santai dan selalu ingin dekat dengan masyarakat. Tulisal-tulisan beliau sungguhlah pantas untuk dibaca. Bagi siapa saja yang ingin melihat dunia dengan cara yang luas. Berikut tulisan Cak Nun.

Pagi kemarin saya bermain bola dengan seekor anjing besar berwarna hitam putih, di halaman belakang rumah seorang teman, di pelosok, sekitar 40 km dari kota Melbourne, Australia. Hampir tiga jam, melebihi running time pertandingan Piala Dunia. Satu lawan satu, berbeda dengan 11 lawan 11. Tentu saja saya ngosngosan, tetapi gejala flu meler saya menjadi sembuh – maklumlah dibanding Sydney kemarin, cuaca dan suhu udara di Melbourne relatif lebih dingin. Tidak sedingin Canberra – kota yang berpretasi membuat saya tidak mandi 4 hari – tetapi Melbourne tidak stabil, sehingga terkadang lebih menyegat dibanding ibukota Australia.

Bagaimana saya bisa tersandera di sini, sendirian di rumah, bermain sama anjing yang lincah bukan main – mengingatkan ketika saya masih muda bermain bola dengan tujuan adu gares atau slongketankaki. Pengalaman kesunyian saya kali ini sungguh berbeda dengan tradisi sunyi hidup saya selama ini.
Oh, anjing! I love you anjing! Tentu saja saya bermain bola dengan pakai sepatu di kaki, berusaha tidak menyentuhkan kulit saya dengan bola yang digigit dikulum anjing terus menerus.
Saya tidak akan menyebut anjing makhluk yang rendah. Ia adalah makhluk Tuhan yang sekedar berbeda dengan saya. Sebagaimana kalau bikin kopi jangan dicampur dengan garam atau apalagi sambal. Bukan karena sambal lebih rendah derajatnya dari kopi, tetapi estetika tidak menghendaki mereka berdua diaduk jadi satu. Sayapun tidak menyambal dannguleg diri saya dengan air liur anjing. Saya bermain, bekerjasama, bermesraan dari suatu jarak yang menjaga kehalalan.
Oh, anjing! Pendawa mengalami ribuan nasib dengan seratus saudaranya Kurawa: saling cemburu, mempertarungkan rasa hak milik, kalah judi, menjadi gelandangan di hutan, kemudian memasuki sampyuh Bharata Yudha – perdebatan moral dan kebimbangan teologis yang panjang, memasuki pemikiran-pemikiran sangat mendalam terutama dalam dialog Kresna dan Arjuna. Di puncak riwayatnya, mereka berlima menang. Tetapi ketikalorolopo menuju sorga, satu persatu dari lima bersaudara Pandawa ini tak kuat tak tahan uji. Sampai akhirnya hanya Puntadewa alias Prabu Darmakusumah yang menapaki tanah di depan pintu nirwana. Namun ia yang berdarah putih ini pun gugur, dan tinggal anjingnya… memasuki sorga.
Tak berani aku meremehkan anjing. Puncak keberanianku hanyalah meremehkan diriku sendiri. Bukankah orang di jalanan yang menjumpai seekor anjing kehausan dan memberinya minum – dijauhkan ia dari api neraka? Bukankah tidak menolong tidak memberi makan kepada anak anjing yang kelaparan saja kita diancam dijilat api neraka?
Siapa tahu aku ini anjing. Jadi kalau ada orang memakiku “Anjing!” aku tidak boleh marah. Atau mungkin malah berterima kasih karena dengan disebut anjing sesungguhnya aku dijunjung kehormatanku – padahal aslinya aku tidak akan pernah mampu sesetia dan sejujur anjing.
Saya bermain oper-operan bola dengan Penny si betina yang besar, sambil Wolly yang cowok menyaksikan di sisi pagar. Tak pernah saya punya pengalaman apapun dengan anjing. Tak punya habitat pergaulan dengan anjing. Tapi Penny sepertinya jatuh cinta kepada saya. Ia terus menerus mendatangi saya dengan menyodorkan bola yang ia kulum-kulum dan ia sodorkan ke tangan saya.
Saya coba berbicara kepadanya dan memintanya untuk meletakkan bola di depan kaki saya. Ternyata ia mau. Maka kami bermain-main – bermesraan sesama makhluk Allah. Aku yang menendang bola, ia menjadi kiper. Babak pertama saya kalah, capek duluan dan terdudukmenggeh-menggeh. Ronde berikutnya saya balas Penny yang ngos-ngosan, bersimpuh sambil menjulur-julurkan lidahnya.
Jalaludin Rumi memberi makan kepada tiga ekor anjing yang kelaparan. Orang yang lewat bertanya kepadanya: “Siapa anjing yang kau beri makan itu?” Rumi menjawab: “Itu adalah aku….”

Mbok Nggak Usah Ada Neraka

sumber gambar
Setiap calon santri di padepokan Sang Sunan, di test dulu bagaimana ia membaca kalimat syahadat. Dan Saridin memiliki lafal dan caranya sendiri dalam bersyahadat. Suatu cara yang Gus Dur saja pasti tidak berani melakukannya, minimal karena badan Gus Dur terlalu subur — sementara Saridin adalah lelaki yang atletis dan seorang pendekar silat yang mumpuni.

Tapi sebelum hal itu diceritakan, karena Saridin khawatir Anda kaget lantas darah tinggi Anda kambuh, maka harus diterangkan dulu beberapa hal mendasar yang menyangkut hubungan antara Tuhan dengan humor.
Sejak mulai akil balig, Saridin secara naluriah maupun perlahan-lahan secara rasional memutuskan untuk melihat dan memperlakukan kehidupan ini sebagai sesuatu yang sangat bersungguh-sungguh — namun ia menjalaninya dengan urat saraf yang santai dan dengan kesiapan humor yang setinggi-tingginya.
Soalnya, diam-diam, jauh di dalam lubuk hatinya, Saridin yakin bahwa Tuhan sendiri sesungguhnya adalah Maha Dzat yang penuh humor….

Memang belum tentu benar, belum tentu baik dan arif, untuk menyebut bahwa Tuhan itu Maha (Peng- atau Pe-) Humor. Di antara 99 asma dan watakNya, tidak terdapat nama Maha Humor. Tapi kalau misalnya di satu pihak Tuhan itu Maha Penyayang dan di lain pihak Ia Maha Penyiksa, atau di satu sisi Ia Maha Pengasih dan di sisi lain Ia Maha Penghukum, atau di satu dimensi Ia Maha Penabur Rejeki tapi sekaligus pada dimensi lain Ia Maha Penahan Rejeki — terpaksa kadang-kadang kita menganggap itu suatu jenis humor. Paling tidak supaya kepala kita tidak pusing.

Ada sih penjelasan kontekstualnya. Tuhan mengasihi atau menyiksa hamba-hambaNya menurut konteks dan posisi nilai yang memang relevan untuk itu. Tuhan mungkin mengasihi siapa saja meskipun mereka mbalelo kepadaNya: Tuhan tetap memelihara napas para maling, Tuhan tidak menyembunyikan matahari dari para perampok, Tuhan tidak menghapus ilmu dari otak para koruptor.
Tapi tidak mungkin Tuhan menyiksa orang yang patuh kepadaNya. Tuhan tidak mungkin menghukum orang yang tak punya kesalahan kepadaNya. Kalau Tuhan menahan rejeki orang yang taat kepadaNya, maka penahanan rejeki itu mungkin merupakan suatu jenis rejeki tertentu yang merupakan metoda agar orang tersebut menghayatinya dan memperoleh nilai yang lebih tinggi. Atau kalau seseorang yang baik kepada Tuhan tapi lantas diberi kemiskinan atau penderitaan, tentu yang terjadi adalah satu di antara tiga kemungkinan.

Pertama, itu teguran. Alhamdulillah dong kalau Tuhan berkenan mengkritik kita. Itu artinya kita punya kans untuk menjadi lebih baik. Kedua, itu ujian. Juga alhamdulillah, karena hanya orang yang disediakan kenaikan pangkat saja yang boleh ikut ujian. Dan ketiga, itu hukuman. Ini lebih alhamdulillah lagi, karena manusia selalu membutuhkan pembersihan diri, memerlukan proses pensucian dan kelahiran kembali.
Jadi menurut Saridin jelas, bahwa bagi mata pandang manusia, ide-ide penciptaan yang Ia paparkan pada alam semesta dan kehidupan, banyak sekali mengandung hal-hal yang kita rasakan sebagai “humor”.
Bukan hanya ketika kita melihat perilaku monyet, umpamanya — yang membuat Saridin berpikir: “Ah, ini yang bikin tentu Dzat yang maha pencipta humor, atau sekurang-kurangnya pencipta monyet adalah Entertainer Agung bagi jiwa dahaga manusia….”

Soalnya kelakuan monyet ‘kan mirip-mirip Anda….
Juga Anda mengalami sendiri betapa banyaknya hal-hal yang lucu di muka bumi ini, bahkan juga mungkin di luar bumi. Saridin sendiri amat sering tertawa riang atau tertawa kecut kalau melihat atau mengalami kehendak-kehendak Tuhan tertentu. Umpamanya tatkala Adam tinggal di sorga, Tuhan sengaja bikin pohon Khuldi, tapi dilarangnya Adam menyentuh. Tapi pada saat yang sama, Ia ciptakan Iblis untuk menggoda agar Adam melanggar larangan itu — dan akhirnya terjadi benar.
Sehingga beliau beserta istri terlempar ke muka bumi, dan kita semua terpaksa menjumpai diri kita juga tidak lagi di sorga, melainkan di bumi.

Itupun bumi yang sudah dikapling-kapling oleh konsep adanya negara. Oleh adanya organisasi pemerintahan yang kerjanya memerintah dan melarang seperti Tuhan. Kalau Tuhan sih memang berhak seratus persen memerintah dan melarang karena memang Ia yang menciptakan kita dan semua alam ini, serta yang menyediakan hamparan rejeki dan menjamin hidup manusia.
Tapi pemerintah ‘kan nyuruh kita cari makan sendiri-sendiri. Kalau kita kelaparan atau dikubur hutang, kita tidak bisa mengeluh kepada pemerintah.

Hubungan kita dengan pemerintah hanya bahwa kita sebuah berada di bawah kekuasaannya tanpa ada jaminan bahwa kalau kita mati kelaparan lantas mereka akan menangisi kita dan menyesali kematian itu. Semakin banyak di antara kita yang mati, secara tidak langsung program KB akan semakin sukses.
Soal ini memang tergolong paling lucu di dunia. Kalau di negara sosialis dulu, rakyat dijamin kesejahteraannya meskipun minimal, namun sama rata sama rasa — dengan catatan tidak boleh mbacot, tidak boleh membantah, alias tidak ada demokrasi. Kalau di negeri kapitalis, setiap orang memiliki hak bicara, hak ngumpul dan berserikat — tapi dengan syarat harus cari makan sendiri-sendiri, harus mandiri dan berani bersaing, berani jadi gelandangan kalau kalah.

Lha Anda adalah rakyat yang hidup di negeri yang mengharmonisasikan dua keistimewaan dari negeri sosialis dan negeri kapitalis. Anda tidak usah banyak bicara, tak usah membantah, tak perlu protes-protes, karena toh makan dan kesejahteraan hidup Anda harus Anda jamin sendiri….
Departemen Sosial, Polsek, Babinsa, Koramil, Majelis Ulama, ICMI, PCPP, YKPK, PNI-Baru maupun Neo-Masyumi, tidak menjamin bahwa Anda beserta keluarga akan tidak sampai kelaparan.
Bahkan pada saat-saat kita tidak paham pada takdirnya yang menimpa kita, dan itu mungkin menyedihkan, demi supaya kita tetap survive secara psikologis — seringkali kita anggap saja itu semua adalah Humor dari yang Maha Kuasa.

Misalnya saja soal Pak Adam di sorga itu. Kalau kita boleh bermanja kepada Tuhan, mbok ya biarkan saja beliau menghuni sorga. Mbok ya Tuhan ndak usah menciptakan Setan, Iblis dan sebangsanya itu. Mbok ya langsung saja manusia yang merupakan hasil ciptaan terbaik ini ditakdirkan saja untuk menghuni sorga, sehingga Tuhan tak usah juga bikin neraka.
Soalnya gara-gara Iblis menang dan sukses dalam menggoda Adam, lantas di dalam perkembangan dunia maupun pembangunan kebudayaan nasional — Setan dan Iblis malah mendapatkan peluang yang besar untuk menjadi idola.

Dalam praktek-praktek kehidpan politik, dalam mekanisme perekonomian dan dunia bisnis, dalam soal-soal pembebasan tanah, soal kebebasan asasi manusia dan lain sebagainya — Setan banyak menjadi wacana utama. Para penguasa tertentu dan pemegang modal besar tertentu, banyak memperlakukan Iblis sebagai mitra-kerja, dengan alasan: “Alah, wong Pak Adam saja juga kalah waktu digoda oleh blis kok….”
Itulah sebabnya Saridin, ketika diperintah oleh Sunan Kudus untuk bersyahadat, memutuskan untuk menempuh suatu cara yang membuktikan bahwa ia bukan saja tidak takut melawan Iblis dan Setan — Saridin bahkan membuktikan bahwa ia tidak takut mati. Saridin membuktikan bahwa Saridin lebih besar dibanding kematian….
Demokrasi Tolol versi Saridin (Penerbit Zaituna, 1997)